Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (162): Rindu Rumah

Kompas.com - 19/03/2009, 08:00 WIB

Toko-toko ini begitu hidup. Semangat para pedagang untuk mencari pelanggan sungguh menakjubkan. Mereka adalah orang-orang yang kehilangan harta benda, rumah tinggal, kendaraan, sanak kerabat dalam gempa empat bulan silam, dan kini sedang berusaha bangkit dari keterpurukan.

          “Kita sama-sama fotografer,” kata tukang foto keliling, “Bedanya, kamu ke mana-mana, saya cuma di desa-desa saja memotret acara kawinan.” Dulu ia punya toko yang lumayan besar, sekarang cuma tersisa kerangka rumah hantu. Di sinilah masa lalunya. Tetapi di sini pulalah ia menyambung hidup. Tak disangka, tumpukan batu besar hancur lebur itu ternyata masih berfungsi sebagai tempat menyimpan foto-foto pelanggan, yang terkadang datang dengan penuh penasaran untuk melihat hasil cetak lembar foto mereka.

Foto-foto ini tak mungkin dicuci di Pattika. Sang tukang potret harus ke Muzaffarabad beberapa kali seminggu untuk mencuci film. Kios cetaknya sudah menjadi rumah hantu dari masa lalu. Sepanjang hari ia duduk di bangku di seberang tumpukan bebatuan bekas tokonya, menanti konsumen di pinggir jalan.

Walaupun bisnis tak bisa dibandingkan dengan masa sebelum gempa, sang tukang potret tak mengeluh. Apalah guna mengeluh? Sudah empat bulan berlalu, dan hidup tak boleh terus terpuruk, bukan?

Vicky, pemuda Noraseri kawan dekat saya, juga punya toko di Pattika. Nama aslinya Vakash, tetapi memang lebih keren dipanggil Vicky. Umurnya 22 tahun, sering dianggap sebagai pemuda tertampan di kampung karena kulitnya yang putih bersih dan raut wajahnya yang lembut. Toko VCD milik Vikash menjual film-film India dan Pakistan, dari yang terbaru sampai terlawas. Tokonya pun sudah doyong, sungguh berbahaya kalau misalnya ada gempa kecil sekali pun. Jumlah pembeli sangat minim. Di kala orang masih kesusahan berusaha bangkit dari puing-puing, ada berapa yang punya waktu luang dan mood untuk menonton film? Lagi pula, di pedusunan ini, listrik juga sangat terbatas.

Melihat Pattika, juga seluruh Kashmir, yang masih berjuang dari keterperukan, menyaksikan mata-mata indah yang bersinar penuh semangat, juga merenungi setiap tawa bocah-bocah jalanan, membuat saya semakin sadar betapa kuatnya orang-orang di sini. Kehilangan segalanya bukan berarti akhir kehidupan. Masih ada harapan yang terus membentang. Sungguh saya malu akan diri saya sendiri yang masih manja dan tak bisa melepaskan keterikatan yang memasung ego. Semangat dari reruntuhan Pattika membangkitkan jiwa saya untuk terus bertahan.

(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com