Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (166): Negeri Para Petarung (2)

Kompas.com - 25/03/2009, 06:55 WIB

Di mata saya, semua insiden tadi lebih nampak seperti drama yang dibikin oleh Farman untuk membuat saya terkesan. Sekali lagi, saya hanya seorang turis bodoh di sini, yang cuma bisa mendengar penjelasan seorang guide yang kredibilitasnjya patut dipertanyakan.

Serpihan kayu beterbangan ditiup angin. Deru mesin membahana mengisi kesepian gunung-gunung. Keempat orang ini kembali lagi ke kesibukannya setelah puas membuat saya pucat pasi.

          “Mereka membangun rumah. Bukan rumah sementara, tetapi rumah permanen. Bahan bangunannya ini dari saya. Dan mesin pemotong kayu ini juga punya saya,” kata Farman bangga. Kayu gelondongan yang kasar berubah menjadi balok-balok kurus dan rapi setelah melewati mesin ini.

Farman ternyata bukan orang sembarangan. Setahu saya ia adalah seorang korban gempa yang menerima santunan bahan bangunan dari organisasi tempat saya bekerja. Ternyata dia sendiri juga punya organisasi kemanusiaan yang mendistribusikan kayu dan mesin ke penduduk di puncak pegunungan. Entah mengapa orang sekaya Farman masih masuk dalam daftar penerima santunan korban gempa.

Dari cara bicara keempat orang ‘Kandar’ itu, nampak jelas mereka sangat berterima kasih terhadap Farman. Cara bicara mereka yang kasar, teriakan yang terus bergaung bersaing dengan deru mesin pemotong, wajah yang keras, cara berpakaian yang sangat jantan, semuanya berubah menjadi harimau jinak di hadapan Farman. Hormat dan santun.

Seorang pemuda di antara keempat penduduk desa itu menunjukkan tangan kanannya yang kehilangan sepotong jarinya. “Ini karena kebiasaan orang Kandar, kebiasaan dezim-dezim,” jelasnya. Dezim-dezim adalah onomatopoeia, tiruan bunyi orang berkelahi. Saya lebih percaya kalau dia bilang jarinya hilang karena kecelakaan mesin pemotong kayu yang sangat berbahaya.

Saya sudah siap menggeret Farman lagi untuk meneruskan perjalanan mencari desa Kandar yang sesungguhnya. Farman nampak malas sekali. “Kita istirahat satu menit ya. Kamu kan juga lelah.”

‘Satu menit’ yang dimaksudnya, ternyata molor sampai satu jam. Istri kakek tua menghidangkan telur dadar yang minyaknya melimpah ruah. Farman berbasa-basi menolak makanan itu, tetapi akhirnya malah menghabiskan separuh jatah saya. Saya tak heran kalau misalnya sebentar lagi ia akan mengandung bayinya yang keempat dalam perut tambunnya.

Kami meneruskan pendakian. Jalan gunung ini semakin lama semakin susah. Terkadang harus melewati daerah longsoran. Terkadang harus melewati jembatan sempit dan rapuh di atas sungai yang mengalir deras. Terkadang, kita harus melewati batu-batu besar yang menghalangi jalan sempit di tepi jurang. Bagi orang Kashmir, jalan seperti ini adalah menu sehari-hari. Orang Kandar bisa turun ke Noraseri dalam hitungan berapa puluh menit saja. Sedangkan saya, rasanya enam jam pun tak cukup untuk mencapai puncak gunung.

Farman menggeleng, “Kalau kamu jalan seperti ini terus, sampai besok pun kita tidak akan sampai ke Kandar.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com