Di tengah kesusahan pendakian ini, saya melihat seorang pria berpakaian shalwar kamiz meloncati batu-batu besar di lereng tebing dengan setumpuk kayu di atas kepalanya. Loncatannya lihai, namun teramat santai. Sedangkan saya harus merangkak dan meraba menyusuri tebing.
Kami akhirnya tiba di desa kedua. Apakah ini Kandar? Saya masih belum yakin. Di sini tiga orang pria sedang beristirahat dalam tenda. Rumah mereka sudah dikutuk menjadi hamparan batu berserakan. Kini mereka mulai membangun rumah kayu, masih dalam tahap memasang patok-patok.
“Kami memang suka berkelahi,” kata seorang di antara mereka, “karena dezim-dezim sudah bagian dari hidup kami. Cuma kami tidak pernah ber-dezim-dezim di hadapan tamu, apalagi orang asing.” Walaupun demikian, sifat kasar orang sini sudah jamak diketahui semua orang. Bahkan seorang tenaga sukarelawan perempuan dari Inggris, yang pernah bekerja di desa ini, sampai minggat karena frustrasi. “Padahal kami tidak berkelahi sama sekali waktu dia membagi-bagi makanan. Kami baru berkelahi setelah dia pergi. Kok bisa frustrasi ya?” pria itu masih keheranan sendiri.
Tak tahulah. Saya juga bingung dengan orang-orang aneh ini.
(Bersambung)
_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!