Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (176): Tambang Garam

Kompas.com - 08/04/2009, 08:33 WIB

Bukan hanya rumah sakit. Pakistan berambisi membangun sebuah kota garam di perut bumi. Sekarang sudah ada Masjid Badshahi, di bawah tanah, terbuat dari balok-balok garam yang sudah berwujud seperti batu bata. Balok garam ini tembus pandang, menghablurkan cahaya warna-warni ketika diterpa cahaya lampu penerang. Ada oranye, merah, putih, merah muda, kuning, dan bening. Warna yang muncul tergantung dari kandungan mineral yang ada di dalamnya.

Masjid Badshahi bawah tanah ini berfungsi sepenuhnya. Yang mau salat di perut bumi pun boleh, di mana lagi kalau bukan di sini? Yang mau kirim kartu pos juga tak perlu kawatir. Di bawah tanah ada kantor pos, dengan seorang petugas yang terjebak dalam ruangan kecil dari batu garam. Atau ada yang ingin berkirim email dari dalam gua? Di sebelah kantor pos sudah ada warung internet dan telepon, kita bisa berkirim kabar dengan kawan saudara yang bermandi sinar matahari di atas permukaan bumi sana. Atau yang mau makan siang? Ada restoran dalam gua garam. Tapi jangan khawatir, makanannya bukan cuma garam. Sekarang, Minar-e-Pakistan, menara kebanggaan Pakistan, sedang dibangun.

Semua kemegahan bawah tanah ini mengkontraskan suasana gua yang mencekam. Di luar daerah yang dikhususkan untuk turis, sekilas tambang garam yang tampak adalah gelap, bisu, dingin, dan mati. Betapa beratnya bekerja sebagai penambang garam, hidup dalam dinginnya gua, berkawan dengan kebisuan berhari-hari, bertahun-tahun.

Danau gua garam menebarkan aroma misterius. Airnya jernih, tenang, terperangkap dalam keheningan. Suara tetes air bergema, menyuarakan kekosongan dalam rongga perut bumi ini. Garam yang kita lihat berwarna-warni dihasilkan dari dinding gua. Bagian yang sudah habis ditambang meninggalkan relung dan jurang yang dalam, tak terlihat lagi dasarnya ditelan pekatnya hitam. Kalau saja ada yang terpeleset ke dalam gua itu, suara dentumannya mungkin baru terdengar sepuluh detik kemudian. Rembesan air menetes perlahan, menggumpal, membentuk stalagtit di langit-langit. Siapa yang menyangka, barisan ‘duri’ raksasa itu semua terbuat dari kristal garam? Dalam gua dingin, semua proses alam berjalan lambat-lambat, setetes demi stetes, tetapi hasilnya adalah kebesaran yang maha agung dalam ajaibnya perut bumi.

Begitu keluar dari gua, kami kembali lagi ke dunia Pakistan yang sebenarnya. Gadis-gadis mahasiswi tertawa riang dan mendiskusikan pengalaman tak biasa yang baru saja mereka alami. Para pemuda sudah mendesak pak dosen untuk segera makan siang. Kami langsung digiring lagi ke dalam bus. Saya yang bukan mahasiswa Universitas Punjab diangkut juga.

Ada bus khusus untuk mahasiswa, dan satu lagi khusus untuk mahasiswi. Pak dosen menceritakan betapa ia merasa berdosa, bertahun-tahun tinggal di Malaysia ia harus menumpang bus dan duduk di sebelah perempuan yang bukan muhrim.

          “Begitu selesai kuliah,” lanjutnya, “saya langsung pergi ke Saudi Arabia untuk umrah, menyucikan diri dari dosa.”

Di sebelah bukit-bukit garam ini, mobil yang kami tumpangi merangkak perlahan-lahan. Batas kecepatan maksimum cuma 50 kilometer per jam. Sebegitu ringkihnyakah bukit-bukit ini, yang rongganya di bawah bumi sana amat dahsyat dan penuh fantasi?

(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com