Semakin lama tubuh saya rasanya sudah semakin menguap. Saya harus menyeret langkah untuk mencari penginapan murah di bawah terik matahari ini. Saya sudah merasakan dua ‘g’ yang membuat Multan tersohor – garam (panas) dan garra (debu). Kalau soal panas tak perlu ditanya lagi. Walaupun masih pagi begini suhunya sudah di atas 40. Siang nanti malah bisa mencapai 50. Debu, tas ransel saya sekarang sudah berselaput pasir halus yang diterpa angin. Begitu angin melintas, keringnya tanah Multan langsung terbungkus tirai debu tebal.
Begitu sampai di losmen yang harganya terjangkau kantong, saya langsung terkapar di atas kasur keras. Kipas angin kuno berderik-derik, sedikit memberi kesejukan. Untunglah pemilik penginapan berbaik hati, menyuguhi saya segentong air dingin. Entah mengapa, saya merasa lemah sekali di bawah panasnya udara. Apakah saya kena hepatitis lagi seperti waktu di India? Ngeri sekali membayangkannya.
Sore hari, terik matahari mulai mereda, walaupun masih panas juga. Saya memaksa untuk berjalan ke kota kuno yang sekitar dua kilometer jauhnya. Begitu memasuki gerbang kota yang sudah berusia ratusan tahun, saya seperti dilemparkan lagi ke dalam zaman masa lalu.
Jalan sempit semrawut meliuk ke sana ke mari. Yang melintas bukan hanya pria berjubah dan perempuan bercadar, tetapi ada juga kereta keledai penarik barang campur aduk dengan mobil tua. Perempuan di sini mengenakan burqa, kain yang membungkus tubuh perempuan dari ujung kepala sampai mata kaki, menutup wajah secara total dan sang perempuan cuma bisa mengintip dari kisi-kisi di bagian mata. Kalau biasanya burqa orang Pathan berujung datar, burqa perempuan Multan menyembul tinggi, seperti rambut Si Kuncung. Warnanya pun tidak monoton – biru, merah, jingga, kuning, putih, hijau, ungu, menambah kemeriahan kota tua.
Yang menjadi pusat radiasi gang-gang kuno Multan adalah gedung balai kota. Gedung ini adalah peninggalan kolonial. Arsitektur Inggris yang megah mengkontraskan semrawutnya rumah kecil yang warna dan bentuknya monoton. Gedung balai kota dikenal juga sebagai ghanta ghar atau menara jam, karena sebuah menara tinggi menampilkan empat buah jam besar di masing-masing sisinya. Satu jam menunjukkan pukul 11:35. Jam di pinggirnya 1:05. Sedangkan arloji saya pukul 15:45. Rasanya dua jam di sisi lainnya juga sama ngawurnya.
Panasnya Multan setidaknya masih bisa sedikit diminimalisir dengan menyeruput segarnya minuman khas kota ini. Di sekitar ghanta ghar banyak pedagang susu soda, atau disebut dudh-soda. Rasanya manis dan dingin. Disimpan dalam gelas-gelas logam yang berat dengan ujung pengocok yang spesial pula.
Kalau mau yang lebih tradisional, jangan lupa mencicip faluda Multan yang tersohor seantero negeri. Warnanya merah menyala dengan rasa sirup mawar. Di dalamnya ada semacam bihun dari tepung, panjang-panjang dan mengapung. Ada pula irisan buah-buahan. Disajikan dengan es, dan benar-benar menyiram tenggorokan yang kering diterpa panasnya mentari.
Tempat yang panas dan kering biasanya memang punya banyak minuman dan dessert yang menyegarkan. Multan masih punya sharbat, es sirup yang dijual murah di pinggir jalan. Selain itu juga ada manisan khas dari susu yang bernama halwa.
Malamnya, garam semakin berkurang tetapi gard menjadi-jadi. Angin kencang menerpa, menderu-deru di sepanjang jalan kota kuno. Bukan hanya mengangkut debu dan pasir tetapi juga menerbangan plastik dan sampah berbau busuk. Kencangnya angin juga membawa titik air. Semakin malam, hujan semakin deras membasuh tanah Punjab yang panas dan kering.
(Bersambung)
_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.