Di sebelahnya, ada dua gedung yang juga tinggal puing-puingnya saja. Tetapi sama seperti makam Bibi Jawindi, puing-puing reruntuhan itu pun masih menunjukkan kebesaran dan keagungan bangunan aslinya. Sekitar dua ratus tahun lalu, banjir hebat melanda tempat ini. Gedung-gedung peninggalan peradaban Sufi rusak berat dan sekarang yang tertinggal cuma secuil dari kebesaran masa lalu.
Kering, gersang, mistis. Angin hangat berhembus perlahan. Pohon palem yang tumbuh tinggi dalam kesunyian berayun-ayun. Barisan tiga makam berusia lima abad ini hening terbungkus waktu yang tak mengalir. Kesenyapan tempat ini sungguh membuat bulu tengkuk saya berdiri.
Dikisahkan bahwa Bibi Jawindi adalah putri kandung Hazrat Jalaluddin Bukhari sang Pengelana Dunia. Keturunan orang suci juga suci, sehingga makam ini pun menjadi tempat berziarah. Adalah para seniman dari Khorasan, sekarang di Iran dan Afghanistan, yang membangun gedung megah ini. Makam di sebelahnya, yang lebih mengenaskan puing-puingnya, adalah milik Baha al Halim, seorang guru besar Islami. Makam ketiga adalah makam milik sang arsitek kedua bangunan makam sebelumnya.
Dari sekian banyak makam orang suci yang bertabur di Uch Sharif, kebanyakan berorientasi ke aliran Syiah, ditandai dengan bendera hitam dan tulisan ‘Ya Ali Madad’. Hussain mengantar saya ke makam Syed Faizuddin yang jauh lebih sederhana arsitektur dan dekorasinya. Lantainya hanya dibungkus tikar jerami. Barisan makam hanya ditutup kain merah polos. Keranjang-keranjang bambu untuk mannat bergantungan di depan pintu masuk, penuh berisi kalungan bunga dan daun yang dibawah peziarah.
“Yang menaruh bunga-bunga ini kebanyakan adalah pasangan yang sudah lama menikah tapi tidak juga dikaruniai anak,” jelas chowkidar, “bunga-bunga ini adalah lambang nazar, janji yang akan dipatuhi kalau sang Pir –orang suci – mengabulkan doa mereka.”
Sufi adalah aliran yang penuh mistis dan mukjizat. Ada perasaan yang bergejolak melihat para peziarah meratap, menciumi tembok dan makam, berharap doa mereka dikabulkan dengan cara itu.
Panas dan kering Punjab di bulan Mei. Hussain membawa saya berteduh di sebuah rumah. Di sana ada tiga pria berjubah. Yang satu sibuk menggerus bhang – minuman hijau dari daun ganja. Yang lainnya menunggu. Seorang kakek tua berusaha meyakinkan saya untuk mengikuti agamanya.
“Siapa yang menciptakan langit dan bumi?” tanyanya, dan langsung dijawab sendiri, “Khuda! Tuhan! Siapa yang menciptakan manusia? Khuda! Siapa yang paling berkuasa? Khuda!....”
Belum selesai ia bicara sudah dipotong oleh pria berjenggot yang menggerus bhang.
“Setiap orang punya imannya sendiri-sendiri, tak perlu dipaksa!”