Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (206): Afganistan, Saya Datang

Kompas.com - 20/05/2009, 15:06 WIB

          "Mengapa harus takut? Semua orang butuh pekerjaan untuk hidup!"

Khasadar hanya digaji 2.000 rupee per bulan, sekitar 30 dollar saja. Tetapi setiap hari dia harus bertaruh nyawa. Kalau bukan bom, ada pertempuran antarsuku, tembak-tembakan, dan sebagainya. Tetapi dengan penghasilan segitu, dia masih bisa menghidupi kelima anaknya. Kata mullah, alasannya, program KB itu tidak Islami karena anak itu asalnya dari Tuhan dan kita tidak boleh menolak.

          "Orang yang beriman tidak khawatir akan hari esok," khasadar itu berujar yakin.

Memang, iman yang samalah yang menguatkannya untuk terus bertaruh nyawa karena memang dia tidak khawatir apa yang akan terjadi.

Pasar itu ramai oleh pria-pria bersurban yang berteriak-teriak menawarkan tomat dan melon. Jalan ini berabad silam pernah dilintasi barisan karavan unta para saudagar. Kini tak ada lagi penakluk dan jalan bersimbah darah. Yang ada adalah turis ditemani khasadar bercangklong Kalashnikov dalam sebuah taksi menyaksikan orang-orang bersurban yang juga bersenjata.

Taksi terus melintasi jalan yang berkelok-kelok menanjak. Sepanjang jalan rumah-rumah nampak sangat sederhana. Semuanya satu warna, coklat warna lumpur kering, dan batu bata. Pemandangan gersang. Dari puncak bukit itu, nampak jalan raya mengular di bawah. Truk-truk minyak merayap perlahan. Inilah Khyber Pass yang ternama itu. Jalan tembus rantai pegunungan Hindu Kush (sang pembunuh Hindu). Inilah jalan yang dilintasi para penakluk dunia, mulai dari Iskandar Yang Agung, Timurleng, Babur, hingga Mahmud Ghaznavi dari Ghazni, Afganistan, yang datang dengan pedang untuk membabat semua patung-patung umat Hindu India. Jalan yang sama yang membawa Islam ke anak benua Asia Selatan. Jalan yang sama bersimbah darah sejak ribuan tahun lalu, mulai dari jaman para penakluk Yunani, Turki, Mongol, Persia, Afgan, hingga ribuan serdadu Inggris yang terbantai.

Saya berada di puncak Khyber.

Pos perbatasan Pakistan terletak di sebelah kiri jalan. Sesak dan pengap. Kalau tiga tahun lalu ketika saya melintas di kantor perbatasan ini, visa Pakistan yang cuma tempelan kertas putih tulisan tangan di paspor hanya dilihat sekilas, sekarang tampaknya Pakistan sudah jauh meningkatkan prosedur keamanan bagi para pelintas batas. Pertama-tama, izin saya untuk masuk tribal area dicek dulu, difotokopi dan ditandatangani. Kemudian, wajah saya dipotret dengan kamera webcam, untuk dokumentasi. Paspor saya dicek lagi dengan mesin pembaca paspor. War on terror memaksa Pakistan untuk semakin siaga di pintu-pintu gerbangnya. Paspor untuk warga Pakistan baru-baru ini sudah diganti dengan paspor biometrik yang machine-readable. Semuanya sudah digital. Sangat jauh dibanding tiga tahun lalu, di mana buku-buku tebal dan bolpoin kuno masih digunakan untuk mencatat informasi imigrasi.

Orang-orang datang dan pergi. Dari Afganistan, nampak gerobak-gerobak berisi wanita dan anak-anak, didorong laki-laki brewok bersurban yang memikul gembolan seperti Pak Janggut.... Yang pergi dari Pakistan tidak banyak. Hari ini hari Jumat, hari libur di Afganistan. Perbatasan agak sepi.

Saya melewati portal garis batas Pakistan. Sekitar dua puluh meter di depan saya, nampak gapura Afganistan. Negeri yang digambarkan dengan kengerian dalam benak hampir semua orang. Negeri berselimut debu. Saya merasa belum siap memasuki pintu negeri ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com