Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bajo yang Resah pada Masa Depan...

Kompas.com - 05/06/2009, 03:55 WIB

Udin Konseng, salah satu anggota pengade lima atau dewan adat, merasakan betul adanya sistem zonasi itu membuat nelayan Bajo menjadi terbatas untuk bisa mencari hasil tangkapan dari laut. Tak ayal lagi, pendapatan pun menjadi berkurang. Warga Bajo yang memang mengandalkan hidup dari laut pun menjadi resah, mengingat inilah keahlian utama yang diwariskan kepada mereka, terutama bagi kaum lelaki suku Bajo.

Adapun perempuan Bajo juga turut berperan membantu para suami untuk menghidupi keluarga. Mereka mencari batu karang dan pasir putih, mengangkutnya dengan sampan untuk dijual kepada warga yang hendak membangun rumah. Namun, kini perlahan-lahan mata pencaharian itu pun terancam karena larangan yang semakin tegas untuk tidak mengeksplorasi laut secara berlebihan.

Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor Arif Satria mengemukakan, pemerintah perlu mengkaji ulang pengelolaan taman nasional laut yang belum melibatkan nelayan dan masyarakat pesisir. Pasalnya, pengelolaan taman nasional laut saat ini masih kaku dan menciptakan zonasi yang menutup ruang gerak nelayan.

Pemanfaatannya untuk wisata bahari juga memutus wilayah tangkap nelayan dan mengesampingkan peran masyarakat pesisir. Padahal, pemanfaatan kawasan konservasi wajib memberikan nilai ekonomis bagi nelayan dan masyarakat pesisir di sekitarnya.

”Pemanfaatan kawasan konservasi laut dan wisata masih kerap meminggirkan mata pencarian nelayan. Diperlukan pengelolaan yang dapat mempertahankan hak-hak nelayan dan masyarakat,” ujar Arif.

Budaya

Kehidupan masyarakat Bajo tak ubahnya seperti kehidupan kaum nelayan pada umumnya. Wajah kemiskinan terpancar di perkampungan mereka. Pendidikan belum menjadi prioritas utama suku ini. Banyak anak usia sekolah yang tidak menyelesaikan pendidikan di tingkat dasar.

Akan tetapi, bukan berarti tidak ada orang-orang berpotensi dari suku Bajo. Nyatanya, ada saja warga suku asli Bajo yang berkiprah di pemerintahan. Tentu saja keberhasilan itu terbuka bagi mereka yang serius menimba ilmu selama di bangku sekolah.

”Kemajuan komunitas suku Bajo juga menjadi perhatian pemerintah,” kata Hugua, Bupati Wakatobi. Keberadaan suku Bajo, kata Hugua, juga bisa memperkaya potensi wisata bahari Wakatobi. Keunikan perkampungan Bajo dan budaya masyarakat diyakini bisa semakin menambah daya tarik wisata di daerah ini. ”Tentu, masyarakat Bajo harus mendapat manfaatnya,” tambahnya.

Menurut Udin, keberadaan orang-orang suku Bajo yang menetap di Kampung Mola terjadi sekitar tahun 1950. Mereka pindah dari komunitas awal di Pulau Kaledupa. Pangkal persoalannya karena ada warga suku Bajo yang sempat dituduh terlibat gerakan DI/TII.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com