Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Geger Flu Burung

Kompas.com - 18/09/2009, 07:50 WIB

Satu pagi, sehabis mengantar anak tertua saya ke sekolah, saya ajak si kecil Bazile untuk jalan-jalan di taman kota. Berhubung hari itu saya sedang berhalangan untuk menunaikan ibadah Ramadhan, maka saya pikir kesempatan nih untuk menikmati hari di luar sambil ngopi. Cepat-cepat saya langkahkah kaki menuju cafe di daerah Esplanade.

Esplanade bisa diartikan sebagai  tempat atau square. Di kota saya, Esplanade adalah sebuah tempat terbuka dengan jalanan besar ditumbuhi pepohoan tinggi meneduhinya. Di pinggir jalanan besar ini, terdapat sejumlah cafe. Di Esplanade terdapat pula tempat bermain anak dan  sebuah taman besar dengan kolam ikan. Bebek dan angsa bebas berenang di kolam itu.

Jadi, bisa dibayangkan betapa nikmatnya ngopi di tempat terbuka sambil memandang pepohonan. Si kecil pun bisa bermain puas dengan aman. Hanya sayang, sebuah kejadian kecil membuyarkan harapan saya akan kenikmatan itu.

Ketika saya memindahkan Bazile dari kereta bayinya untuk didudukan di kursi cafe tiba-tiba... Krek!!... Aiiee!! Saya berteriak. Punggung hingga tulang pinggang saya keseleo. Tubuh saya seketika kaku, tidak bisa lagi menegakkan badan. Saya berseru meminta pelayan membantu saya duduk di kursi.  Suami saya datang terbirit-birit dan menggotong istrinya hingga mobil. Setelah ke dokter dan periksa rontgen, diputuskan saya harus segera ke ahli tulang.

Alhamdulillah, saya merasa baikan setelah diobati oleh ahli tulang. Cara pengobatannya cukup aneh bagi saya. Badan saya dibetot, ditarik, dan ditekuk, tapi hasilnya membuat saya bisa berjalan dan  punggung bisa ditegakan lagi. Saya pun diwajibkan istirahat di tempat tidur selama 4 hari dan harus menggunakan  sabuk khusus untuk peyangga pinggang. Untung saya masih bisa menulis dengan netbook, hingga bisa berbagi cerita pengalaman bagaimana rasanya sakit di negeri orang.

Pengalaman sakit

Sakit yang menyebabkan saya harus tergeletak seperti ini bukan yang pertama terjadi sejak saya hidup di Perancis. Begini ceritanya. Setiap kali pulang kampung, saya ini seperti orang panik. Jajan segala rupa, maklumlah, saya ini doyan sekali jajan. Bagi saya, cemilan di Indonesia tiada duanya dibandingkan makanan ringan Perancis yang serba roti.

Nah tahun lalu, beberapa hari setelah pulang liburan dari tanah air, saya masuk rumah sakit gara-gara doyan jajan. Awalnya, badan saya menggigil seperti orang kedinginan tapi badan saya tak demam. Dokter pun saya panggil ke rumah. Analisa pertama, kemungkinan saya kena flu tulang. Malamnya, badan saya semakin menggigil. Suhu badan saya hingga 40 derajat celcius. Dokter pun kembali dipanggil ke rumah. Tak ada pilihan, saya harus segera dilarikan ke rumah sakit.

Malam itu juga saya masuk Unit Gawat Darurat (UGD). Darah dan air seni saya diperiksa. Dokter masih belum dapat memastikan penyakit yang menyerang saya. Sempat ada dugaan saya terserang malaria atau demam berdarah. Alhamdulillah ternyata bukan malaria. Wuihhh lega saya mendengarnya. Tapi, ketika kata demam berdarah dikemukakan, saya mulai panik! Apalagi suhu badan saya masih saja naik turun yang membuat badan saya sakit luar biasa dan menggigil.

Akhirnya, setelah satu malam berada di UGD saya dibawa dengan ambulans ke rumah sakit khusus penyakit tropikal dan infeksi untuk dianalisa lebih jauh. Di dalam ambulans saya sedih dan bingung sekali. Anak saya yang kecil saat itu masih berusia 7 bulan, sementara yang besar harus sekolah. Mertua, tetangga, dan suami yang mengatur semuanya. Saya pasrah. Beginilah jauh dari orang tua dan sanak keluarga, harus kuat mental.

Sampai di rumah sakit khusus penyakit tropikal itu saya diinterogasi lagi. Entah berapa dokter yang sudah menemui saya, juga berapa liter darah yang ke luar. Setiap kali saya menggigil darah saya diambil untuk dianalisa. Seorang dokter wanita mengajukan pertanyaan yang mengejutkan: apakah selama di Indonesia saya berhubungan dengan unggas?

“Iya, benar. Di rumah orang tua saya, pegawai orang tua memberikan sepasang  ayam untuk anak saya bermain. Tapi, saya tidak pernah bersentuhan dengan ayam-ayam itu,” terang saya.

Mendengar keterangan saya Si Ibu Dokter bergegas pergi tanpa komentar. Tak lama kemudian, alamak!, beberapa dokter dan petugas rumah sakit datang dengan pakaian bagaikan astronot! Dari mulai ujung kepala hingga ujung kaki semuanya terbungkus. Oh oh...langsung saya bisa tebak kenapa hal ini sampai terjadi. Pastilah gara-gara cerita si ayam tadi.

Flu burung

Saya akan dikarantina. Saya panik total! Untungnya suami saya datang dan mencoba menenangkan para dokter. Mereka bersikeras saya harus dikarantina. Mereka khawatir saya terinfeksi flu burung yang menular. Bahkan anak-anak saya diminta datang ke rumah sakit untuk dianalisa. Suami saya yang juga ikut pulang ke Indonesia mencoba menerangkan bila ayam yang dipelihara orang tua saya itu sama sekali tidak ada tanda-tanda penyakit menakutkan tersebut.

Untung seorang dokter mau di ajak berkompromi. Akhirnya mereka setuju, sebelum saya dibawa keruang karantina, suami saya di diminta terlebih dahulu untuk menghubungi orang tua saya, menanyakan kabar si ayam dan kondisi kesehatan keluarga saya di Indonesia.

Di telepon, Kang Dadang tentu saja berbahasa Indonesia dengan mertuanya. Para dokter yang mendengar hanya bisa bengong tidak mengerti. Tiba-tiba suami saya tertawa terbahak-bahak. Di ujung telepon Ibu saya bercerita bahwa nasib sepasang ayam itu sudah berakhir di atas meja makan. Kedua orang tua saya sehat-sehat saja usai menyantap ayam itu.

Mempertimbangkan bahwa orang tua saya dalam kondisi sehat akhirnya saya tidak jadi dikarantina. Tapi, anak-anak dan suami saya tetap diminta untuk menjalani pemeriksaan. Alhamdulillah mereka sehat wal-afiat.

Setelah empat hari dirawat diketahui kalau saya terkena Thypoide, penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri salmonelles. Penyakit ini biasanya menular dari kotoran atau orang yang terinfeksi. Saya menduga sumber penularan adalah tempat di mana saya jajan waktu di Indonesia. Mungkin, si penjaja makanan mengidap penyakit ini atau tak membersihkan tangannya saat memasak, entahlah.

Kesimpulan yang keluar adalah saya jajan sembarangan tanpa mempedulikan kebersihan. Bapak saya yang juga dokter sempat heran, kenapa lama sekali dokter Perancis baru bisa menemukan jenis penyakit yang diidap anaknya. Maklumlah kata saya, mereka tidak biasa dengan penyakit tropis.

Walaupun sudah ketahuan jenis penyakitnya, ternyata saya tetap di kurung. Saya dilarang keluar dari kamar, para dokter, petugas rumah sakit hingga orang yang datang membesuk harus menggunakan sarung tangan, masker dan baju penutup dari plastik. Kontak secara langsung dilarang. Sebelum keluar dari ruangan semua alat pelindung itu harus dibuang ke tempat sampah dan wajib mencuci tangan dengan zat khusus. Anak-anak saya dilarang keras menengok ibunya. Saya merana sekali tak bisa melihat mereka. Setiap hari darah saya diambil untuk dianalisa.

Lucunya, menu sehari-hari saya bukanlah makanan lunak layaknya menu orang sakit di Indonesia. Selama saya dirawat menu rumah sakit adalah steak atau daging-dagingan. Diam-diam suami saya membawakan istri tersayangnya bubur ayam dan nasi tim. Sementara makanan rumah sakit, Kang Dadanglah yang menghabiskannya agar tak terjadi kecurigaan....

Sepuluh hari saya dikurung di dalam kamar rumah sakit. Di hari kesebelas saya diperbolehkan keluar kamar. Hari keduabelas saya diizinkan pulang setelah semua hasil analisa menyatakan saya sembuh total. Nasihat yang dilontarkan dari teman-teman Perancis saya adalah, hati-hati, kamu sudah tidak kebal lagi dengan kekotoran di negaramu. Halah, tega nian ya???

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com