Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cita Rasa Dua Bangsa (2)

Kompas.com - 26/11/2009, 19:12 WIB

Tahun 2004 kami sekeluarga pulang kampung dalam rangka pernikahan adik bungsu saya (kini sudah almarhum). Itu adalah pulang kampung kedua saya. Dalam kesempatan itu, seperti biasa, satu tupperwear pete masuk koper kecil di kabin pesawat. Dari Jakarta hingga Singapura tak ada masalah, aman-aman saja, seperti layaknya setiap kali kami kembali ke Perancis dengan pasukan pete.

Tapi di Paris, petugas bandara meminta kami membuka tas yang berisi pete. Duh, masak sih kami tersangkut masalah hanya karena pete, pikir saya. Selama ini kami tak pernah mengalami masalah dengan penganan khas tanah air ini. Ternyata, mereka tidak tertarik pada pete, tapi pada patung antik kecil. Naasnya, patung itu memang ditaruh di atas tupperwear berisi pete. Melihat butiran bagai bola di dalam tupperwear, petugas pun meminta kami memperlihatkannya.

“Permisi ya, Pak. Tolong kotak ini juga diperlihatkan,” pintanya ramah sambil menunjuk tupperwear..
“O, kotak ini isinya biji kacang yang kami bawa dari Indonesia. Dan, setahu saya tak ada masalah membawa makanan ini masuk ke Perancis,” jawab Kang Dadang. (Untungnya, Perancis hingga saat ini tidak melarang penumpang pesawat membawa makanan asalkan kering dan tahan lama)
“Memang tak ada masalah, Pak. Hanya saya meminta Anda untuk memperlihatkannya!” jawabnya dengan nada agak tinggi.  

Kami pun membuka bungkusan koran dan plastik yang membungkus pete.
“Oh, mon dieu! (ya Tuhan!),” seru si petugas.
“Kalian membawa ulat Indonesia ke Perancis untuk dimakan?!” petugas wanita itu memandang kami dengan heran.
“Bukan ulatnya yang kami makan, tapi biji kacang ini. Soal ulat memang sudah jadi bagiannya, sama seperti keju Corsica kan?” jelas suami membela si pete.

“Yahh, kalau sampai tuh pete dibuang, Dadang sedih banget deh, setahun enggak bisa makan pete.  Ade berdoa dong, biar petugasnya enggak buang harta kita,” bisik Kang Dadang serius. (Ade adalah panggilan Kang Dadang untuk saya)

Saya sih pasrah saja jika pete-pete kami melayang dalam tong sampah. Aduh, itu ulat-ulat kecil kenapa pula menggeliat keluar dari rumahnya. Biarpun ulatnya tidak banyak, tetap saja kelihatan menjijikkan. Sebelnya lagi, para petugas itu mikirnya ulat-ulat itu adalah santapan kami.

Petugas wanita tampak berbisik serius dengan seorang pria (mungkin atasannya). Keputusannya: nasib pete akhirnya dibebaskan kepada kami. Sumpah, saya betul-betul heran melihat reaksi suami saya yang begitu girang ketika akhirnya bisa mendapat izin membawa para pete hingga ke kota kami Montpellier. Malahan kami diberikan satu kantong plastik proteksi untuk si pete.

Bukan hanya Kang Dadang yang ngefans berat dengan pete, sejumlah teman kami yang pernah tinggal di Indonesia pun umumnya menyukainya. Hingga kini tak pernah ada kata penolakan untuk pete dalam tiap jamuan makan malam yang kami selenggarakan. Padahal, seringkali kami hanya menyajikan dalam bentuk pete goreng saja. Sejumlah orang mengunyah pete begitu saja seperti makan kacang.

“Hati-hati harus dibelah dulu, dilihat dalamnya ada ulat atau tidak,” begitu saya sering menggoda.
“Kalau ulat dari kacang hijau ini sih bersihlah, malah bervitamin dan nambah rasa,” jawab mereka.

Eleuh...sebenarnya saya ini sedang berada di Perancis atau prapatan Ciamis ya?

(Tamat)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com