Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jakarta yang Masih Lengang

Kompas.com - 08/03/2010, 09:42 WIB

KOMPAS.com — “Di Jakarta, Tuhan sedang membuat orang Indonesia,” demikian diucapkan Lance Castles. Perkataannya itu merujuk pada Jakarta sebagai melting pot, Jakarta yang sejak masih bernama Batavia sudah menjadi kota multi-etnis. Hal itu diawali dengan jatuhnya Jayakarta di tangan JP Coen yang kemudian mendirikan Batavia pada 1619.
    
Kota Batavia merupakan peluang kerja yang sungguh besar bagi berbagai etnis seperti Jawa, Bali, Ambon, Bugis, termasuk bagi orang Tionghoa di daratan China yang bermigrasi ke Batavia. Apalagi, ketika kawasan di sekitar Batavia (Ommelanden) juga ikut berkembang mendampingi kesuksesan ekonomi Batavia di bidang pertanian, industri gula, pabrik arak, genting, dan batu bata.
    
Identitas etnis pun makin luntur menjadi identitas Batavia, Jakarta. Mereka tak lagi berinteraksi berdasarkan etnis, tapi lebih pada kepentingan sosial ekonomi dan kedekatan geografis. Maka, penulis buku Profil Etnik Jakarta ini pun mengeluarkan kalimat seperti disebut di awal tulisan ini.
    
Abad berganti, jumlah penduduk Jakarta, yang tetap multi-etnis, pun bertambah. Peningkatan jumlah penduduk begitu pesat baik melalui urbanisasi maupun ledakan penduduk—di mana jumlah kelahiran lebih banyak daripada tingkat kematian. Itu khususnya pada tahun 1950-an. Firman Lubis, seorang dokter, menuliskan tentang Jakarta pada tahun 50-an, 60-an dan 70-an. Dalam seri Jakarta 1950-an: Kenangan  Semasa Remaja, ia menyebutkan, pada tahun 1950-an sebenarnya Jakarta belum terlalu padat dengan satu sampai dua juta penduduk. Jumlah itu menanjak menjadi lebih dari 3 juta penduduk pada akhir 1960 dan membengkak menjadi lebih dari 8 juta pada tahun 1980-an.
    
Sebuah gambaran untuk menunjukkan meningkatnya kepadatan penduduk di Jakarta pada tahun 1950-an, Firman menuliskan pengalaman dari tempatnya tinggal, di Jalan Kawi. Kata Firman, kampung di dekat rumahnya, Kampung Pedurenan, pada awal 1950 merupakan kampung yang lengang dan masih asri karena banyak pepohonan. Tapi di pertengahan 1950, pemandangan kampung segera berubah menjadi perkampungan padat penghuni. Rumah berdempetan, lingkungan pun jadi tak sehat dan gersang.
    
Dari catatan Firman, dengan luas Jakarta yang 670 km2, maka pada tahun 1950-an kepadatan penduduk sekitar 1.250 orang per km2 (dengan jumlah satu sampai dua juta penduduk). Sesudah tahun 1980-an, kepadatan penduduk melonjak menjadi sekitar 12.500 orang per km2, di kawasan padat penduduk jumlahnya bahkan mencapai 40.000–50.000 orang per km2.
    
Catatan lain tentang kenangan masa remajanya adalah tentang ruang bermain yang masih luas pada tahun 1950-an. “Sebagai anak dan remaja, kami biasanya sering bermain di luar rumah. Mencari tempat bermain mudah. Rumah-rumah umumnya punya pekarangan cukup luas, di mana kami bisa bermain lompat tali, galah asin, kelereng, dan petak umpet,” lanjutnya, ia juga bermain sepak bola, voli, dan kasti di taman dan lapangan terbuka yang jumlahnya masih sangat banyak.
    
Pengalaman Firman pada tahun 1950-an tentu tak lagi bisa dinikmati anak dan remaja di Jakarta pada periode 1990-an. Di periode saat “Master Plan DKI 1965-1985” mulai dijalankan oleh Gubernur DKI Jakarta, (alm) Ali Sadikin, sesaknya Jakarta makin terasa.

Kemudian pada tahun 1980-an mulai banyak taman lenyap, lahan kosong makin sulit dicari, bahkan bangunan bersejarah pun tak terhitung yang dirobohkan, diganti bangunan modern. Harga tanah kian melonjak. Jakarta berubah menjadi hutan beton, jalan-jalan baru dibikin hingga ke lingkar luar Jakarta untuk mengatasi macet, meski macet tak pernah teratasi dengan penambahan jalan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com