Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Madu dan Racun Trawangan

Kompas.com - 11/07/2010, 04:33 WIB

Budi Suwarna/Khaerul Anwar  

Gili Trawangan ibarat madu. Setiap tahun orang luar, termasuk investor asing, datang berbondong-bondong mencecap manisnya. Lalu, warga lokal dapat apa?

Muchtar (30) baru enam bulan menjadi sopir cidomo—kependekan dari cikar dokar motor. Namun, dia sudah tahu betapa manisnya rezeki di Gili Trawangan. ”Di sini mencari uang mudah,” katanya sambil tersenyum, akhir Juni lalu.

Dalam sehari, dia mengaku bisa mengantongi uang Rp 500.000-Rp 1 juta. ”Bahkan pada malam Tahun Baru, uang Rp 2 juta mudah didapat,” tambah laki-laki yang berasal dari Praya, Lombok Tengah, itu.

Pulau kecil tersebut memang sangat berpihak pada cidomo, kendaraan semacam delman itu. Di sini, transportasi dalam pulau yang diizinkan hanyalah sepeda dan cidomo. Kendaraan lain, seperti sepeda motor apalagi mobil, dilarang. Tujuannya agar tak ada polusi udara dan suara di Trawangan.

Cidomo yang beroperasi juga dibatasi hanya 34 unit agar jalan-jalan sempit di pulau itu tidak terlampau padat. Namun, izinnya bisa diperjualbelikan dengan harga selangit. ”Sekarang harga izin operasi cidomo bisa Rp 150 juta sampai Rp 300 juta,” kata Muchtar.

Meski mahal, Muchtar tak berminat menjual izin operasi cidomonya. ”Ditukar sama mobil Mercy pun saya tidak mau. Selain biaya merawat Mercy mahal, mobil mewah itu tidak bisa dibawa ke sini.”

Muchtar hanyalah satu dari sekian banyak orang luar pulau yang datang ke Trawangan untuk mengail rezeki. Jumlah pendatang seperti Muchtar, kata Firdaus Zakaria, Ketua RT 4 Trawangan, semakin banyak. Ada yang jadi sopir cidomo, tukang bangunan, penyanyi kafe, pengelola hotel, instruktur diving, hingga juru foto pribadi.

Beberapa tahun belakangan, muncul pula sejumlah laki-laki berkulit sawo matang, bertato dengan rambut dicat pirang di pulau itu. Mereka biasanya hilir mudik di pantai sambil menggoda turis asing perempuan.

Orang asing pun kian banyak yang mencari rezeki di pulau ini. Hotel, cottage, restoran, bar, kafe, perusahaan diving di Trawangan hampir semuanya milik orang asing. Setidaknya, usaha patungan orang asing dan pendatang dari luar pulau. ”Sekarang, setiap hari ada saja orang asing yang datang untuk survei lokasi dan harga sewa tanah di sini,” kata Firdaus.

Taufik, Kepala Desa Gili Indah yang membawahkan gugusan tiga gili, yakni Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air, mengatakan, 50 persen lahan di Trawangan sudah dikelola. Sekarang, para investor mulai merambah ke Gili Air, pulau kecil di sebelah Gili Trawangan.

Dibanding lima tahun lalu, Trawangan mulai terasa sesak. Dulu, hotel hanya tumbuh di tepi pantai, sekarang bangunan-bangunan semacam itu tumbuh jauh di dalam pulau. Turis-turis asing bercelana pendek pun kian banyak berkeliaran hingga ke pelosok kampung.

Banyaknya orang asing yang berinvestasi di Trawangan ada hikmahnya. Setidaknya, harga sewa tanah di pulau ini melambung tinggi. Harga sewa tanah di tepi pantai bisa ratusan juta, sedangkan di dalam pulau mulai puluhan juta.

Itulah yang mendorong warga lokal getol menyewakan lahan mereka pada orang asing. Papan pengumuman bertuliskan ”Land for Rent” berikut nomor telepon pemiliknya mudah ditemukan. Papan semacam itu biasanya ditempel di pohon di pinggir jalan.

Sudin (38), warga Trawangan, menyewakan 15 are (1 are setara 100 meter persegi) seharga Rp 105 juta selama 10 tahun kepada orang asing. Uang hasil sewa itu dia gunakan untuk membangun cottage dengan lima kamar. ”Kamar itu saya sewakan Rp 450.000 per hari dan hampir selalu penuh,” ujarnya bangga.

Dia juga membangun Manta Cafe yang selama Juni lalu selalu dipenuhi turis yang ingin menonton pertandingan langsung Piala Dunia.

Tidak selalu manis

Namun, kisah seputar sewa lahan tidak selalu manis. Warga yang bertemu penyewa nakal atau tidak bisa mengelola uang hasil sewa dengan baik hanya bisa gigit jari. Contohnya, Manan. Dia menyewakan lahan seluas 15 are kepada pasangan bule asal Inggris selama 15 tahun sejak tahun 2002 sebesar Rp 255 juta.

Sesuai perjanjian, sewa dibayar tiga kali masing-masing Rp 85 juta tahun 2002, 2004, dan 2005. Selain itu, setelah masa sewa selesai, tanah akan dikembalikan berikut bangunannya kepada Manan. Kini di atas lahan yang disewakan Manan telah berdiri penginapan bertarif Rp 1 juta-Rp 2,5 juta semalam, sebuah restoran, kolam renang yang juga digunakan sebagai tempat latihan diving.

Awalnya, semua berjalan lancar. Belakangan, penyewa mulai mangkir membayar sewa. ”Saya sampai harus mengancam baru dibayar,” katanya.

Seorang warga yang tidak mau disebutkan namanya membisiki, ”Banyak orang asing penyewa lahan sifatnya seperti mafia. Kalau ditagih galakan dia.”

Manan juga baru sadar, uang sewa yang diperoleh sama sekali tidak berarti. Uang itu mesti dibagi kepada orangtua dan saudaranya. Manan hanya memperoleh Rp 20 juta. Uang itu dia gunakan untuk membangun rumah seluas 16 meter persegi di atas tanah milik orangtuanya. ”Hasilnya hanya ini,” katanya mengeluh.

Padahal, untuk mendapatkan hak atas tanah di Trawangan, Manan dan puluhan warga lain harus melalui jalan berliku. Mereka sempat diusir karena dianggap tidak berhak atas tanah di sana. Setelah mengadu ke DPRD NTB, DPR, dan Komnas HAM di Jakarta, mereka baru bisa memperoleh hak atas tanah itu.

Kalaupun praktik sewa lahan berujung manis, Haji Wak Suha (75) tetap khawatir. Salah seorang tokoh lokal yang pertama-tama tinggal di Trawangan itu mengatakan, ”Kalau praktik sewa lahan dibiarkan terus, kami takut kelak dapat puntung rokoknya saja.”

Menurut dia, pelaku pariwisata di Trawangan banyak yang hanya mengejar keuntungan ekonomi dan mengabaikan aspek lingkungan pulau kecil itu.

Pulau ini memang indah di bagian depannya. Namun, kalau kita masuk ke dalamnya, sampah plastik berserakan di mana-mana. Itu baru satu contoh saja.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com