Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Morotai, Mutiara Terpendam

Kompas.com - 24/07/2010, 02:59 WIB

Oleh C Wahyu Haryo PS

Pulau Morotai, Provinsi Maluku Utara, menjadi saksi sejarah Perang Dunia II yang mempertemukan Jepang dan Amerika Serikat beserta sekutunya pada 1944-1945. Pulau di tepian Samudra Pasifik, yang berbatasan dengan wilayah Filipina, itu dirasa sangat strategis sehingga mereka memperebutkannya. Ironis, sepanjang hampir 65 tahun kemerdekaan Indonesia, Morotai seperti tidak memiliki arti. 

Semasa pendudukan di Indonesia, Jepang menjadikan Morotai sebagai salah satu basis militer di Samudra Pasifik. Sekitar 200.000 tentara Jepang ditempatkan di sana sejak 1942. Begitu strategis keberadaan Pulau Morotai sehingga dua tahun berikutnya Amerika Serikat (AS) dan sekutunya mengerahkan kekuatan besar-besaran untuk merebut Morotai.

Perang hebat berkecamuk di sana selama lebih kurang setahun. Pasukan AS yang dipimpin Jenderal Douglas Mac Arthur memenangi pertempuran itu dan menjadikan Morotai sebagai basis militer sekaligus pusat komando di Asia Pasifik. Mereka pun membangun tujuh landasan pacu pesawat dan pelabuhan untuk basis militer AS dan sekutunya dalam membangun serangan untuk menaklukkan Jepang. Setidaknya 250 pesawat tempur dan puluhan ribu tentara AS dan sekutu pernah mendarat di pulau itu.

Di bawah pemerintahan republik ini, Morotai yang memiliki luas 2.456 kilometer persegi itu seperti dibiarkan begitu saja. Baru beberapa tahun belakangan Morotai mendapat perhatian, bahkan dimekarkan menjadi kabupaten pada 24 Maret 2009.

Minim infrastruktur

Kabupaten Pulau Morotai memiliki 33 pulau, 7 di antaranya berpenghuni. Penduduk Kabupaten Pulau Morotai yang mencapai 63.000 jiwa dan tersebar di 5 kecamatan dan 64 desa hingga saat ini masih menikmati pelayanan publik yang minim.

Sarana pendidikan yang tersedia hanya satu SMK, tiga SMA, empat SMP, dan beberapa SD. Sarana kesehatan yang ada hanya satu rumah sakit daerah, yang merupakan peningkatan dari puskesmas, dan satu rumah sakit milik TNI Angkatan Udara. Itu pun paramedis yang ada tidak setiap hari di rumah sakit itu untuk melayani masyarakat.

”Kitong (kami) kalau sakit parah harus dibawa ke rumah sakit di Tobelo, naik perahu tiga jam kasih ongkos Rp 75.000 atau naik speedboat dua jam kasih ongkos Rp 100.000,” kata Alimudin (40), warga Morotai yang bekerja sebagai penarik becak bermotor (bentor).

Infrastruktur listrik tenaga diesel yang menerangi Morotai juga masih minim. Listrik hanya menyala pada pukul 17.00 hingga pukul 13.00. Jika gelombang laut tinggi dan pasokan bahan bakar minyak yang diangkut kapal terganggu, hampir dipastikan tempo pemadaman listrik berlangsung lebih lama.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com