Dia mengajari para pemuda tersebut, kemudian membentuk Forum Pemuda Pelestari Candi Muaro Jambi. Sebuah rumah kayu yang dibangun oleh Dinas Pariwisata setempat dimanfaatkan mereka sebagai tempat penjualan suvenir.
Mereka juga membuka usaha pramuwisata dan mengembangkan paket wisata perjalanan ke Candi Muaro Jambi.
Namun, usaha itu tidak berlangsung lama. Sejumlah perbedaan kepentingan di dalam forum membuat para pemuda mandek memproduksi suvenir. Setahun kemudian, Brata mencoba bangkit.
Ia memperoleh bantuan dari Koperasi Amartha sebesar Rp 1,5 juta pada tahun 2008. Uang itu langsung ia belikan cat, ampelas, dan sejumlah bahan pelengkap untuk pembuatan kerajinan. Ia juga memesan sebuah lemari kayu untuk memajang suvenir.
Bagai maraton, Brata membuat kembali suvenir-suvenir dari bahan alam. Kali ini, Brata menjalin kerja sama dengan pelaku usaha lain, seperti pemilik usaha bubut kayu, pengusaha kaus, pengusaha paket perjalanan wisata, dan manajemen hotel berbintang.
Ia mendapat bahan baku secara gratis dari bengkel bubut kayu. Hasil kerajinannya kemudian dititipkan ke sejumlah toko kaus dan hotel. Pemilik toko kaus tersebut juga dapat menitipkan produk mereka di gerainya.
Kini usaha Brata berkembang pesat. Ia juga membagi keterampilan yang dimilikinya kepada tiga rekan yang kini turut dalam usaha produksi suvenir miliknya.
Nilai penjualan suvenir rata-rata mencapai Rp 3 juta per bulan. Sesekali ia memenuhi pesanan dari kenalan di Jawa.
Brata masih ingin terus mengembangkan keragaman produk kerajinan khas Muaro Jambi ini. Namun, ia masih kesulitan karena alat kerja yang dimilikinya sangat terbatas.
Ia sangat membutuhkan mesin bubut kayu, tetapi harganya belum terjangkau, yaitu sekitar Rp 3 juta. Brata juga belum memiliki las bambu dan gergaji khusus untuk membentuk kayu. Karena itu, untuk kepentingan las bambu dan pembentukan kayu, ia masih harus menyambangi kenalan lainnya.
”Saya belum dapat sepenuhnya mandiri memproduksi kerajinan suvenir ini,” ujar anggota Himpunan Pramuwisata Indonesia ini.