Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesukarelaan Sepincuk Nasi Sabogana

Kompas.com - 30/11/2010, 04:15 WIB

Tari (25) mencoba menerobos antrean warga yang berebut nasi sabogana. Nasi sabogana adalah nasi yang dikukus dengan bumbu kuning, rempah, kacang-kacangan, wortel, dan taburan kerupuk yang dikemas memakai pincuk daun pisang. Tak sampai lima menit, pincuknya sudah kosong karena lapar bercampur nikmat.

Nasi sabogana adalah salah satu bagian kecil yang terdapat dalam ritual seren taun di Kampung Adat Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan. Biarpun sabogana atau seadanya, nasi ini memberikan kenikmatan lebih besar daripada nasi bungkus dari rumah makan padang. Sebab, ada rasa kesukarelaan dalam pincuk nasinya.

Menurut Kesih (70), warga Desa Cipager, Kecamatan Cigugur, nasi sabogana dibuat bersama-sama oleh warga di tiap blok. Banyaknya nasi yang dimasak bergantung dari hasil iuran sukarela. Tidak dipatok berapa nilai uang atau bentuk barang yang harus disumbangkan. Semua berdasarkan kemampuan warga. ”Yang buat juga bergantian. Jadi, rasanya pasti akan berbeda-beda tiap blok dan tiap orang yang memasaknya,” ujar Kesih, Senin (29/11).

Bumbu utama nasi itu adalah kesukarelaan. Tanpa dibayar, mereka bersusah payah menghidangkan nasi bagi siapa saja yang datang pada seren taun 1943 Saka Sunda. Sentuhan kesukarelaan itu juga yang menjadi semangat warga menyiapkan semua kebutuhan pesta adat.

Kati (65), warga Desa Rambatan, Kecamatan Cinuru, rela datang ke pesta seren taun menumpang mobil bak terbuka bersama sekitar 100 tetangganya. Tugasnya sebagai penumbuk padi, tanpa bayaran sepeser pun. Sejak pukul 10.00 hingga pukul 16.00 dia bergantian bersama lebih dari 400 orang menumbuk 2,2 ton padi.

Gotong royong

Bagi Kati, yang sejak usia belasan tahun sudah ikut menumbuk padi pada ritual adat ini, ada kepuasan yang diperoleh ketika bergotong royong membuat padi menjadi beras. Padi yang mereka tumbuk adalah pemberian Sang Pencipta yang membuat orang-orang menjadi pandai, terlihat cantik, bahkan sehat.

Bersama-sama dan bergiliran, warga, tamu undangan, serta pengunjung menumbuk padi. Tak hanya diam di tempat, proses menumbuk padi dilakukan oleh penumbuk sambil mengelilingi lesung. Duk dak duk dak duk dak, lantunan bunyi benturan alu menghantam tumpukan padi di lesung, menjadi harmonisasi musik di tengah keriuhan puncak seren taun.

Tak peduli ada atau tidak bayaran yang mereka peroleh, gairah sukarela bergotong royong ditumpahkan warga saat membuat memeron.

Pangeran Djatikusumah, sesepuh masyarakat adat Cigugur, menuturkan, kesukarelaan merupakan dasar membentuk keharmonisan hidup bermasyarakat. Agar bisa mencapai titik kesukarelaan dalam bertindak, warga harus bisa memikirkan dan merasakan (masalah) orang lain. ”Bukan hanya merasa, tapi juga merasakan. Bukan hanya berpikir, tapi juga ikut memikirkan,” ujarnya.

Setelah mencapai tahap kesukarelaan, dengan sendirinya kesadaran bermasyarakat itu pun terbentuk. Tidak ada lagi takaran untung rugi dan perhitungan nilai ekonomi karena yang diutamakan adalah pencapaian kemaslahatan bersama. Tak ayal, suwiran tipis daging ayam serta potongan wortel dan kacang merah pada nasi sabogana terasa makin sedap karena bertaburan bumbu sukarela. ”Mak nyus,” kata Tari mengomentari santapannya.

(Timbuktu Harthana)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com