Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lamalera, Nyanyian Tanah Air

Kompas.com - 08/05/2011, 03:24 WIB

Laut itu ibu

Bagi orang Lamalera, laut ibarat ibu dan darat adalah ayah. Dalam catatan Bona Beding, produser album ini, metafora tersebut ingin mendudukkan makna sesungguhnya dasar spiritualitas orang Lamalera. Laut mengajarkan mereka tentang seluruh nilai, kejujuran, totalitas, moralitas, pendidikan nilai, religiusitas, dan sebagainya tentang bagaimana menjalani hidup semestinya dan sesungguhnya.

”Dalam setiap mereka menangkap ikan, laut mengajarkan kepada mereka untuk mesti jujur, bersih diri. Kepasrahan pada nasib, misalnya, hanya mereka pahami dalam semboyan: Bagian kita, rezeki, baru kita terima nanti malam. Maksudnya, tidak usah ngoyo, Tuhan mungkin punya rencana lain, rezeki kita ’mungkin’ baru besok diberikan kepada kita,” kata Bona yang putra Lamalera itu.

Semua tata krama kehidupan di laut, seluruh sepak terjang kehidupan di laut akan menjadi contoh kehidupan mereka di darat. Sebaliknya, kehidupan di darat akan menunjukkan hasil di laut. Ketika para nelayan pergi melaut, seluruh kehidupan di darat haruslah menyertai mereka.

” Maksudnya, para perempuan, dan mereka yang tinggal di darat, termasuk mereka yang mendiami rumah adat mestilah menjalani hidup yang jujur, tidak boleh bertengkar, tidak boleh berselingkuh, dan lainnya. Harmoni ini yang senantiasa mereka jaga dan rawat,” kata Bona yang mendiang ayahnya adalah seorang lamafa.

Kesadaran pop

Lagu-lagu dalam Return to Lamalera dikemas dengan kesadaran untuk menyodorkan album ke telinga publik yang luas, penikmat lagu pop. Lagu-lagu tidak jatuh pada romantisisme suatu wilayah budaya. Penataan musik mengacu pada kaidah-kaidah yang lazim digunakan dalam musik industri.

Akan tetapi, serapan lokal, rasa Lamalera itu cukup terasa. Pola, panggil dan sahut yang lazim pada lagu rakyat, misalnya, diadaptasi dalam sebagai refrein yang menarik pada lagu ”Ina Tao, Ama Gene”. Lagu itu pada bagian awal menggunakan bahasa Lamalera, selebihnya menggunakan bahasa Inggris.

Return to Lamalera mengingatkan betapa terpendamnya kekayaan musikal Tanah Air. Di ruang dengar publik, rasa Tanah Air itu nyaris tak terdengar. Pada era 1960-an, ketika industri musik belum segemuruh hari ini, lagu-lagu dari berbagai latar budaya menjadi konsumsi publik.

Dari latar budaya Banjar, Kalimantan Selatan, misalnya, muncul lagu seperti ”Paris Barantai” dari Orkes Melayu Rindang Banua. Sekadar pengingat, lagu itu berlirik awal ”... kota Baru gunungnya bamega ...” Dari ranah Banjar pula orang mengenal lagu ”Ampar-ampar Pisang” lewat Orkes Melayu Taboneo. (Sebutan Orkes Melayu tidak merujuk pada musik dangdut).

Dari ranah Minang, menyebut beberapa saja, populer lagu ”Ayam Den Lapeh” dari Oslan Husein dan ”Bareh Solok” lewat suara dari Elly Kasim. Dari tanah Pasundan telinga publik mengenal ”Bubuy Bulan”, ”Bajing Luncat”, sampai ”Es Lilin”. Dari Makassar terdengar ”Anging Mamiri” dan ”Ati Raja”. Masih banyak

lagu dari sejumlah daerah, termasuk Jawa Tengah dan wilayah lain, yang menjadi milik publik.

Lagu-lagu tersebut, pada era 1960-an mampu melintas batas kedaerahan dan menjadi lagu Indonesia. Radio Republik Indonesia (RRI) mempunyai andil besar dalam menyebarkan lagu-lagu daerah ke seluruh pelosok Tanah Air. Kini, ketika medium komunikasi makin menjangkau ke setiap jengkal wilayah negeri, lagu-lagu daerah justru terkesan terpinggirkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com