Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rezeki dalam Semangkuk Bubur

Kompas.com - 29/05/2011, 04:18 WIB

”Tetapi, yang penting, anak tertua saya sudah kuliah semester empat,” kata bapak empat anak ini, yang merasa bersyukur nasibnya lebih baik dibandingkan dengan teman-teman sedesanya yang dahulu sama-sama merantau ke Jakarta.

Mang Oyo dan Bubur Gaul

Hanya berbekal pendidikan sekolah rakyat, Oyo Saryo (60) atau yang dikenal dengan sapaan Mang Oyo berkelana dari kota kelahirannya, Majalengka, ke Bandung pada tahun 1964. Tiba di Bandung, Oyo yang semula buruh tani itu berjualan minyak tanah keliling, lalu beralih ke bubur lemu (bubur sumsum). Baru pada tahun 1976, Oyo memilih berjualan bubur ayam.

Bubur ayam yang pertama kali dijualnya masih berupa bubur encer, bukan bubur kental seperti yang dikenal konsumen saat ini. Bubur kental inilah yang kemudian membuat nama Mang Oyo populer sejak tahun 1989. 

Saat ini bubur dengan nama ”Bubur Ayam MH Oyo Tea” ini hanya berada di lima tempat yang kesemuanya berada di Kota Bandung, yaitu di Sarijadi, Gelapnyawang, Ir H Juanda, Surapati, dan Sulanjana. Dua tempat lain di Bandung ditutup bukan karena tak laku, tetapi karena bermasalah dengan penanggungjawabnya.

Oyo tahu bagaimana melindungi produk ciptaannya. Bubur Ayam MH Oyo Tea sudah terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dan Departemen Kesehatan serta sudah bersertifikat halal Majelis Ulama Indonesia. Selain menunaikan ibadah haji pada tahun 1995, usaha yang dijalani Oyo sudah menghasilkan rumah di Bandung, serta rumah, vila, dan sawah di Majalengka, selain beberapa kendaraan operasional.

Menemukan usaha mapan di bubur ayam juga menjadi pengalaman Achmad Badaruddin, yang dulu bekerja di sebuah perusahaan asuransi. Kini, ia banting setir menjadi pengusaha bubur ayam. Itu gara-gara suatu kali ia

diajak kliennya bertemu di sebuah hotel di Jakarta Selatan yang menyediakan bubur ayam. Achmad lalu menggagas untuk membawa bubur kelas hotel itu ke warung kaki lima dengan harga kaki lima.

Sebelum terjun jualan bubur, dia membuat riset selama empat bulan. ”Saya datangi warung-warung bubur yang katanya enak sampai ke Cipanas,” ujar Achmad, yang senang masak itu. 

Setelah informasi lengkap, Achmad dan istrinya, Deasy, mencoba-coba membuat bubur dengan tujuh macam beras yang berbeda. Sampai akhirnya dia mendapatkan beras paling cocok, yakni beras cianjur kepala besar. Achmad selanjutnya menyiapkan konsep dagangnya. Dia ingin menyasar pembeli kelas menengah ke atas. Karena itu, dia membuat warung yang bersih. Mangkuk dia pesan khusus dengan merek Gaul. Sekarang bahkan dia mencetak sendiri mangkuknya. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com