Beradaptasi dengan teknologi
Tidak adanya pesaing saat ini bukan berarti Sukarna bisa dengan mudah menghidupkan pabriknya. Di tengah perkembangan teknologi musik yang kian pesat dan canggih, Sukarna harus memikirkan bagaimana supaya alat musik Gamelan Degung bisa tetap bertahan dan dilirik. Karena ketika gamelan degung tidak lagi dimainkan, otomatis permintaan akan berkurang dan mengancam kelangsungan pabrik.
Beruntung ia bisa membuat dua jenis gamelan degung yaitu diatonis dan pentatonis. Sehingga tidak jarang gamelan degung juga dikolaborasikan dengan alat-alat musik modern.
Sukarna sadar usianya kian uzur. Akan tiba saatnya tongkat estafet pabrik diserahkan kepada orang lain. Syukurlan, anak ketiganya, Krisna Hidayat (31), telah menetapkan hati untuk menerima tongkat estafet itu. Krisna berjanji akan mengembangkan usaha pembuatan gong warisan leluhurnya.
"Walaupun pesanan tetap ada, sulit bagi pabrik ini untuk bertahan jika hanya menunggu pembeli. Kita harus menjemput bola. Karena itu saya sudah membeli domain di internet untuk membuat situs pabrik gong ini dan sekarang dalam proses penyelesaian," kata Krisna.
Ia berharap, internet akan membuat pabrik gong ini dikenal tidak hanya di tingkat lokal tapi juga internasional. "Saat ini memang banyak wisatawan asing yang datang untuk melihat proses pembuatan gong, tapi mereka tidak membeli. Itu yang menjadi target saya berikutnya," tambahnya lagi.
Bahan baku
Tidak berhenti di situ, permasalahan bahan baku juga mempengaruhi. Menurut Sukarna bahan baku yang paling baik untuk membuat gong adalah perunggu. Ia mendapatkan perunggu dari campuran timah asal Bangka Belitung dan tembaga.
Hal ini yang membuat harga gong mahal. Untuk satu set Gamelan Degung berbahan dasar perunggu yang terdiri dari Bonang, Saron, Jengglong, satu gong kecil (diameter 50 cm) dan satu gong besar (ukuran 75-85 cm) membutuhkan waktu pembuatan selama tiga minggu. Sukarna mematok harga Rp 35 juta hingga Rp 40 juta.
Namun dengan harga sebesar, tidak pernah pabrik ini tidak mendapatkan pesanan sama sekali. "Pesanan itu bisa dibilang sedang sedikit atau sedang banyak. Saya tidak ingat pernah mengatakan pesanan itu tidak ada," kata Krisna.
Masih ada masyarakat yang melestarikan budaya musik tradisional, menurut Krisna, membuat pabrik ini tetap berjalan. Tidak jarang pesanan itu datang dari pulau Jawa seperti Lampung, Aceh, Maluku hingga Sulawesi.
Selama masih ada yang memainkan gong dan gamelan degung, maka suara besi tempa di Pancasan masih akan bertalu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.