ASWIN RIZAL HARAHAP, M FINAL DAENG, dan NASRULLAH NARA
Sandeq
Tujuh belas tahun terakhir, sandeq terus digandrungi melalui lomba tahunan bernama sandeq race. Bagi nelayan Mandar yang mendiami pesisir barat Sulawesi—mencakup Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Majene, Mamuju, dan Mamuju Utara di Provinsi Sulawesi Barat—ajang itu selalu ditunggu-tunggu.
Peneliti maritim asal Jerman, Horst H Liebner, menyebut sandeq race sebagai upaya melestarikan ikon budaya Mandar
Meski lomba baru berlangsung September nanti, Tahir sudah geregetan. Saban hari, ia sibuk mendandani sandeq-nya di Desa Tinambung. Bahkan, istrinya, Aminah (51), ikut-ikutan mengampelas Sempurna, perahu kesayangan keluarga yang diletakkan di depan rumah.
”Supaya komponen yang rusak bisa segera diperbaiki atau diganti,” ujar ayah dari 14 anak warga Kabupaten Polman itu.
Empat anaknya yang merantau di Tarakan, Kalimantan Timur, Agus, Arsyad, Udin, dan Usman, kali ini diajak kembali untuk mengawaki sandeq milik keluarga.
Untuk mengarungi rute Mamuju-Pantai Losari, Makassar, Sulsel, Tahir membeli sandeq lima tahun silam seharga Rp 45 juta. Perahu berukuran panjang 13 meter, lebar 80 sentimeter, dan tinggi 1 meter, dengan cadik di sisi kanan-kiri, itu berkapasitas 8-10 orang. Di bagian tengah terbentang layar segitiga yang membuat perahu bisa terdorong dengan kecepatan 40 kilometer per jam.
Saban tahun, Tahir harus mengeluarkan biaya persiapan lomba sebesar Rp 10 juta-Rp 15 juta. Ongkos itu untuk memperbaiki bagian kapal yang aus