Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ban Bocor Sampai Empat Kali

Kompas.com - 07/03/2012, 17:10 WIB

Dengan dia, saya sudah dua kali bersepeda jarak jauh yaitu Surabaya-Jakarta dan Jakarta-Palembang. Namun dua perjalanan itu amat berbeda dengan yang kami lakukan sekarang karena dilakukan dengan penuh tim pendukung, sedangkan di Sulawesi ini kami berjalan sendiri tanpa tim pendukung.

Sosok Ocat baru saya kenal dalam perjalanan ini. Dia juga bekerja di tempat yang sama dengan Devin, juga sama-sama anggota komunitas Bikepacker Indonesia. Jam terbang Oket untuk turing terbilang lumayan. Sama seperti pernah dilakukan Devin, ia sendirian menyusuri jalur Trans Sumatera dari Jakarta sampai Aceh. Di lain waktu pria kelahiran Sorong itu mencicipi jalur Banjarmasin-Tarakan dan Jakarta-Bima.

Adapun Bidin baru bergabung dalam perjalanan ini di saat-saat terakhir. Anak Wonogiri yang tinggal di Tangerang adalah yang termuda diantara kami. Mereka datang bersama Dony Sau, anggota Mahitala Unpar yang tinggal di Makassar.

Segera setelah urusan bagasi beres, saya bongkar kardus yang membungkus Tenzing, sepeda kesayangan saya. Untuk membawanya dari Jakarta, sepeda saya preteli lalu dimasukkan kardus. Pada perjalanan panjang, cara ini lebih praktis daripada membawa bike bag atau tas khusus sepeda. Sampai di tujuan sepeda tinggal dirakit ulang dan kardus dibuang. Sampai di tujuan tinggal beli kardus lagi untuk membungkus sepeda.

Hujan deras mengguyur bumi saat kami langsung menyusuri jalan Trans Sulawesi yang menghubungkan Makassar-Barru-Parepare. Jalanan lurus mendatar dengan lebar cukup untuk tiga mobil di satu lajur. Suasana jalan mirip di jalur Pantura Jawa dengan adanya median jalan di tengah dan lalu lalang truk besar.

Jalan ruas Makassar-Barru sepanjang 86 kilometer sedang ditingkatkan dengan pembetonan. Proyek yang dimulai sejak 2009 masih menyisakan pekerjaan di beberapa titik. Pembetonan dan banyaknya jalan putus memakan korban ban sepeda Ocat dan Bidin. Sampai empat kali mereka terpaksa menambal ban yang bocor tertusuk kerikil tajam.

Selepas Maros, dataran luas persawahan menghampar di sebelah kiri-kanan jalan. Di kejauhan sebelah kanan jalan berdiri perbukitan kapur dengan tiang-tiang berbentuk silindris yang puncaknya meruncing atau lonjong. Kabut yang memeluk perbukitan itu menciptakan aura magis. Wallace menggambarkan, struktur geologis bagian tertentu dari Sulawesi ini sangat menarik.

Kawasan sekitar Makassar sampai Maros ini merupakan daerah pegunungan karst yang berliku-liku. Pegunungan kapur berfondasi batu basalt di beberapa tempat terbentuk oleh bukit-bukit dengan lereng yang landai dan curam. Batu kapurnya keras dan kering. Pengikisan batu kapur oleh air hujan terlhat jelas pada potongan-potongan batu kecil dan puncak yang menembus tanah dataran alluvial di pegunungan.

Dari pegunungan ini sampai ke laut terbentang dataran alluvial yang kosong tanpa tanda-tanda adanya akumulasi air tanah di bawahnya. Padahal pemerintah Makassar telah menghabiskan banyak uang untuk mengebor hingga kedalaman 300 meter untuk mendapatkan sumber air. Mereka berharap menemukan sumber air sama seperti sumur artesis di lembah sungai di London dan Paris sebagaimana ditulis Wallace dalam The Malay Archipelago: The land of Orangutan and The Bird of Paradise.

Bentangan karst Maros-Pangkep Sulsel seluas 4.500 hektar ini merupakan karst ketiga terluas di dunia. Hingga kini sekurangnya ada 268 gua yang tercatat pernah ditelusuri di kawasan itu. Tercatat pula 125 jenis dari 400 jenis kupu-kupu yang pernah hidup disitu, masih ada sampai sekarang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com