Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Laut dan Karang bak Saudara "Dikatutuang"

Kompas.com - 20/04/2012, 08:36 WIB

Dibutuhkan waktu dua tahun bagi Suhaele dan tokoh masyarakat lain di Sama Bahari untuk menyadarkan masyarakat akan kondisi yang ada sebelum akhirnya tuba dikatutuang ditetapkan. Penetapan itu hanya satu capaian, capaian lainnya adalah sebagian warga yang dulunya mengebom dan membius ikan berhenti.

Sanksi sosial bagi pelanggar berupa pengucilan dari kegiatan-kegiatan masyarakat di Sama Bahari. ”Hingga areal itu akhirnya diambil alih oleh Taman Nasional Wakatobi sebagai zona pariwisata, tidak ada warga yang dijatuhi sanksi sosial. Semuanya mematuhi ketentuan tersebut,” kata Suhaele.

Berselang enam tahun setelah penetapan tuba dikatutuang di Sama Bahari, hal serupa diterapkan oleh nelayan-nelayan di Pulau Tomia, Wakatobi. Karang Roma, Mari Mabok, dan Onimae, yang berada tidak jauh dari Tomia dan kaya akan terumbu karangnya, mereka tetapkan menjadi bank ikan sehingga siapa pun dilarang menangkap ikan di lokasi-lokasi tersebut.

”Sanksi bagi masyarakat yang melanggar sebatas sanksi sosial. Meski begitu, tidak ada masyarakat yang melanggar kesepakatan yang telah mereka buat sendiri itu,” ujar Manajer Proyek Program Bersama The Nature Conservancy dan World Wide Fund for Nature (WWF) di Wakatobi, Sugyanta.

Upaya yang dilakukan oleh komunitas nelayan di Tomia itu membuat mereka meraih penghargaan Equator Prize dari Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2010.

Tadi (50), salah seorang nelayan Sama Bahari yang dulu pernah menangkap ikan dengan bom, mengatakan, hasil menangkap ikan dengan bom memang lebih banyak daripada dengan panah, jaring, atau memancing seperti yang biasanya nelayan Bajo lakukan. Dengan bom, hasil ikan yang diperoleh bisa sampai 100 kilogram atau sepuluh kali lipat dari biasanya.

”Namun besarnya hasil yang diperoleh tidak akan ada artinya karena hanya sesaat. Setelah terumbu karang rusak, kami justru tidak bisa cari ikan lagi,” ujarnya.

Kini, Tadi bertahan menangkap ikan dengan menggunakan panah seperti yang diajarkan orangtuanya meski dengan begitu pendapatannya hanya berkisar Rp 20.000-Rp 50.000 sehari. ”Uang yang diperoleh hari ini cukup untuk hari ini,” tambahnya.

Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I, Taman Nasional Wakatobi, La Ode Ahyar T Mufti, mengatakan, meningkatnya kesadaran masyarakat Bajo untuk ikut menjaga keanekaragaman hayati di Wakatobi mulai terjadi sejak sepuluh tahun terakhir. Sejak itu pula, kasus penangkapan ikan dengan bom dan pembiusan menurun drastis.

”Antara tahun 1990 dan 2000, bom ikan bisa terdengar berulang kali di Wakatobi, seperti ada perang di sini. Bahkan perahu patroli kami pernah dilempar bom ikan. Namun, kondisi sepuluh tahun terakhir sudah berubah,” ujar Ahyar.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com