Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ikat Bali Nan Memikat

Kompas.com - 02/05/2012, 11:39 WIB

Etmy Kustiyah Sukarsa, pemilik kerajinan tenun ikat Sekar Jepun, bangga dirinya masih bertahan dari naik-turunnya peminat endek. Kini ia kewalahan. ”Orderan perkantoran, terutama perbankan, mengalir terus ratusan jumlahnya. Padahal, penenun saya juga terbatas. Tetapi, mereka (pemesan) ngotot ingin Sekar Jepun yang menenun,” tutur istri ahli kalender Bali, (alm) Ketut Kebek Sukarsa.

Ia mengakui, tenun ikat produknya memiliki desain sendiri. Ia pun mengaku terpaksa keluar dari motif-motif biasanya. Menurutnya, ini menjadi momentum meraih kembali kejayaan masa lalu. Oleh karena itu, Etmy bertekad harus bisa berkreasi lebih dari yang lalu.

”Saya tidak mau endek tenunan Sekar Jepun biasa saja. Saya mau ada kreasi dan seni yang terus berkembang. Endek harus bisa modern dan gaya, terutama untuk perempuan,” ujarnya.

Soal warna, Ngurah Tanaya mengatakan, pada tahun 1980-an itu motif masih seputar bunga dan binatang, termasuk warna justru cerah. Sayangnya, kain endek masa lalu itu bisa luntur sehingga tak bisa dicuci jika ingin warnanya bertahan. Hanya diangin-anginkan saja.

Sekarang, bagi Etmy, tidak ada lagi cerita endek itu luntur dan tak bisa dicuci. Ia terus bereksperimen dengan benang-benang terbaik dan pewarna yang andal. Memang, satu kain berukuran panjang 2,25 meter x 90 sentimeter tersebut bisa diselesaikan dalam dua minggu dengan motif tak terlalu rumit. Namun, semua bahannya berasal dari luar Bali. Harga per kainnya pun bervariasi, yaitu mulai dari Rp 300.000 hingga lebih dari Rp 1 juta.

Entakan

Entakan tangan sang penenun juga menjadi pertaruhan eksklusivitas selembar kain. Kerapian motif dan barisan benang lusi-pakan menjadi jaminan keindahan. Benangnya pun bisa semahal sutra.

Kini, modifikasi endek dengan bordir serta penambahan manik-manik pun menjadi tren. Bahkan, variasi produk tak berhenti pada dompet dan tas saja, tetapi juga aksesori seperti bros dan jepit rambut.

Tak tanggung-tanggung, Ni Made Mas Sriwahyuni, penjahit kenamaan endek Edelweiss di Denpasar, memadu padan baju-baju endek dengan songket. Bagaimana responsnya? Sejumlah masyarakat menerimanya.

Bukan hanya perkantoran, anak-anak sekolah pun pada hari Jumat tak canggung pakai baju endek seperti SMA Negeri 4 Denpasar.

Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Kota Denpasar Selly Rai Mantra Dharmawijaya menegaskan, promosi gencar-gencaran soal tenun ikat atau endek ini bukan untuk menyaingi batik, tetapi agar generasi muda tak lupa dengan kain-kain yang terlahir dari daerahnya sendiri. ”Bali ini pulau yang berbudaya. Malu rasanya jika kita tak terlibat untuk melestarikan apa yang lahir dari orangtua kita. Ya salah satunya, endek ini,” tegasnya.

Bagaimanapun, kain begitu dekat dengan keseharian serta kehidupan masyarakat Pulau Bali. Semenjak dalam kandungan, kelahiran, upacara keagamaan, hingga kematian, kain begitu dekat dan melekat. Jika tenun ikat atau endek saja dulu bisa berjaya, mengapa tidak untuk saat ini. (Ayu Sulistyowati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com