Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Uang Tunasuara

Kompas.com - 30/07/2012, 02:29 WIB

Selama ini penjelasan tentang pasar politik uang dalam rezim pemilihan langsung lebih fokus pada sisi permintaan, bukan penawaran. Padahal, perilaku memilih masyarakat mengalami perubahan dalam sepuluh tahun terakhir di mana faktor-faktor yang mendeterminasi pilihan dalam momen elektoral, mulai dari kedekatan pemilih dengan partai, politik aliran, ataupun patronase politik, mengalami pergeseran dan dipertanyakan kembali.

Dalam praktik perdagangan suara, uang bukan hanya menjadi instrumen untuk mendapatkan dukungan pemilih, melainkan juga menjadi modus utama pemilih untuk membuat penawaran. Bisa jadi modusnya adalah semata- mata ekonomis, untuk mendapatkan ”uang lelah” karena sudah menghadiri kampanye dan datang ke TPS. Bisa juga modus yang lebih ”politis” di mana suara yang ditawarkan merupakan bentuk kompensasi atau ganti rugi atas kondisi mereka. Dengan demikian, penawaran adalah cara bagi warga miskin mengklaim sumber daya yang dikuasai oleh politisi dan melalui momen elektoral dipaksa mendistribusikan kembali kepada mereka.

Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah sejauh mana efektivitas vote buying dalam menentukan suara pemilih?

Hasil survei

Keterbatasan ini sesungguhnya sudah mulai terbaca dalam sejumlah kajian dua tahun terakhir ini. Setidaknya bisa dirujuk dari survei yang dilansir PolMark Indonesia dalam pilkada di empat daerah awal tahun 2011 dan dari studi etnografi yang dilakukan penulis dalam konteks Pilkada Yogyakarta 2011.

Kedua studi tersebut menunjukkan politik uang tidak sepenuhnya efektif menjamin kandidat bisa memenangkan pilkada. Survei PolMark menemukan, 40 persen responden menolak praktik politik uang. Sementara sisanya, 60 persen, diasumsikan menerima uang dari para kandidat.

Walaupun jumlah yang menolak uang belum sebesar yang menerima uang, survei itu justru memperlihatkan hanya 13 persen pemilih yang akhirnya memilih kandidat yang memberi uang. Artinya, mayoritas pemilih cenderung menerima uang yang diberikan tetapi selanjutnya mengambil posisi politik berbeda dengan harapan pemberi uang.

Artinya, praktik perdagangan suara memiliki limitasi karena menghadapi kepatuhan penjual (pemilih) yang tidak pasti (Charles Schaffer: 2007). Kepatuhan yang tidak pasti tersebut berhubungan dengan fakta bahwa sekalipun bekerja dalam transaksi komersial, kandidat membeli suara tanpa lisensi. Analoginya, para kandidat seperti membeli barang di pasar gelap (black market) yang tak dilindungi secara legal. Dengan demikian, kandidat biasanya tidak memiliki jaminan bahwa pemilih yang menerima tawaran materi mereka akan patuh dan membalasnya saat di bilik suara.

Pengamanan kepatuhan suara pemilih menjadi masalah inheren. Para pembeli berhadapan dengan hukum dan norma yang menempatkan suara bukan sebagai komoditas yang sah. Maka, gagasan pertukaran ekonomi yang sederhana dalam perdagangan suara sulit dipertahankan. Sebab, kandidat tidak bisa bergantung pada norma-norma sosial dan hukum yang menjamin pertukaran yang adil.

Pada sisi pemilih, ketidakpatuhan digerakkan oleh adanya public distrust terhadap para pembeli suara atau kandidat. Pengalaman pemilih dari arena pemilihan yang satu menuju yang lain menunjukkan bahwa pascaberlangsungnya pilkada banyak kandidat yang mengabaikan aspirasi warga.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com