Limitasi kedua dari praktik pembelian suara adalah konteks sosiokultural. Hal ini bisa digunakan untuk memahami efektivitas praktik perdagangan suara. Dalam konteks budaya yang berbeda, praktik-praktik pembelian suara membawa makna yang berbeda pula. Itu artinya aksi pemberian uang kepada pemilih bisa jadi tidak menyamakan
tujuan kandidat dengan makna yang dibangun pemilih/warga. Pemilih memiliki caranya sendiri dalam membangun makna sosial atas uang yang diterima.
Kajian yang dilakukan Schaffer (2007) di sejumlah negara menunjukkan rentang variasi makna simbolik uang yang diterima pemilih, mulai dari ganti rugi, penghinaan, ancaman, hingga tanda cacat moral.
Akhirnya, pemaknaan uang yang bervariasi tersebut menunjukkan model perdagangan suara tak dapat bekerja secara linier, sederhana, dan seragam. Maka, mengandaikan transaksi dalam pasar suara bekerja dalam sistem pertukaran ekonomi yang normal tidak cocok dengan praktiknya. Inilah pasar spekulatif yang justru tidak sepenuhnya mengikuti matematika pelaku pembeli suara. Dalam logika pasar gelap, kepatuhan pemilih tidak bisa dipegang dan bahkan dalam konteks sosial-kultural tertentu, pemberian uang justru kontraproduktif terhadap upaya kandidat untuk menang, Uang pun menjadi tunasuara.