Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengejar Matahari Gili

Kompas.com - 12/08/2012, 04:08 WIB

Ritual mengejar matahari berulang di pagi hari. Kali ini ke arah timur. Warga pulau sudah membuka mata ketika subuh masih membayang. Kapal-kapal nelayan membuang sauh di tengah laut, menjaring ikan untuk dijual ke pulau.

Bagi wisatawan dari negeri empat musim, terik matahari tak ubahnya magnet. Ketika penduduk lokal berjalan melipir di antara keteduhan bayang-bayang pohon, sosok-sosok berkulit pucat itu justru berjejal di area yang paling banyak diterpa panas.

Pantai dan laut menjadi pusat aktivitas sepanjang pagi dan siang. Diving dan snorkeling merupakan pilihan paling populer. Tarif paket snorkeling selama lima jam, termasuk dengan menyewa perahu dan peralatan, sekitar Rp 700.000. Demikian juga dengan spa dan pijat tradisional. Mulai dari kelas ratusan ribu per jam di hotel berbintang sampai kelas lima puluh ribu di kios-kios pinggir jalan laris manis.

Bersepeda mengelilingi pulau juga tak kalah menantang. Waktu yang paling nyaman untuk mengeksplorasi pulau seluas 338 hektar itu adalah menjelang sore hari, dimulai dari ujung timur dan beristirahat di ujung barat sambil menanti matahari tenggelam.

Beranda belakang pulau ini juga menyimpan pesonanya. Hotel-hotel mungil yang menghadap ke laut lepas tumbuh di sana-sini. Demikian juga vila-vila pribadi dengan taman hijaunya, dan tentu saja kafe dan restoran. Jarak dari satu bangunan ke bangunan lain masih dipisahkan lanskap alam. Menyisakan ketenangan dan ”rasa” alami.

Meski demikian, hampir separuh jalan setapak berpasir tebal. Apa boleh buat, sepeda pun terpaksa dituntun. Berhentilah sejenak untuk menikmati keindahan di sekeliling dengan lebih kusuk, lepas dari ingar- bingar kerumunan. Di sini debur ombak yang pecah membentur karang terdengar lebih garang. Juga cericit kawanan burung yang terbang melintas menyisakan siulan panjang.

Sejumlah anak pulau bergerombol di bibir pantai mencari kerang. Satu per satu perolehan dimasukkan ke kantong plastik. Langkah mereka lincah meniti pasir pantai yang berbatu dan menghilang di balik bukit.

Seiring dengan pesatnya perkembangan pariwisata di pulau ini—ketika resor, hotel, dan restoran berebut menjejali lahan pinggir pantai—permukiman penduduk semakin tergusur ke arah bukit. Pertumbuhan tak selalu berjalan paralel dengan kesejahteraan warga lokal. Kaum yang tercecer ini kemudian menjadi ”tamu” di tanah kelahirannya.

Malam itu, kami bertemu dengan Siti, gadis cilik berusia 13 tahun yang terkantuk-kantuk menjaga toko kelontong sendirian. Jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Tidak seperti anak sebayanya yang mungkin sudah terlelap seusai mengerjakan PR, Siti masih harus bekerja.

”Setiap hari saya bekerja dari jam 09.00 sampai jam 12 malam (pukul 24.00). Setelah itu, saya membersihkan toko, baru pulang. Besok pagi ke sini lagi,” kata Siti yang bekerja dari Senin sampai Minggu, tanpa libur, dengan gaji Rp 1 juta per bulan.

Siti sedang semangat-semangatnya menjadi murid SMP ketika dipaksa orangtuanya untuk berhenti sekolah dan bekerja, membantu ekonomi keluarga. ”Saya sih pinginnya sekolah, tetapi tidak boleh, mesti kerja,” katanya.

Ya, wajah Trawangan terus berubah. Terus berubah….

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com