Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Marak, Pulau Sepi yang Semarak

Kompas.com - 30/08/2012, 07:49 WIB

”Semua satwa merupakan bekas peliharaan masyarakat. Di sini adalah kesempatan kedua bagi satwa liar untuk kembali ke alamnya,” jelas Asferi.

Sejak dimulai pada 2003, program rehabilitasi di pulau ini tak mengubah apa pun yang sudah ada. Bahkan, tanaman buah-buahan, seperti pisang yang menjadi asupan utama satwa rehabilitasi, didatangkan dari Nagari Sungai Pinang.

Sebagian warga di nagari itu menanam pisang atas yang panenannya dibeli Kalaweit. Babi hutan, yang kini cenderung mengganggu karena populasinya terlampau banyak, juga tidak pernah diburu. ”Kebijakan kami dari awal memang membiarkan kondisi Pulau Marak sealami mungkin,” ungkap Asferi.

Pulau Marak berjarak 7,37 kilometer dari daratan Nagari Sungai Pinang dan bisa ditempuh dengan pelayaran biduk sekitar 50 menit. Setengah perjalanan di antaranya dilalui dengan hantaman gelombang hingga ketinggian 2 meter. Ini disebabkan Pulau Marak berada di Selat Kepulauan Mentawai dengan hamparan laut lepas.

Di sekitar Pulau Marak terdapat sejumlah pulau lain, seperti Pulau Kapo-Kapo, Pagang, dan Pulau Nyamuk yang agak jauh di bagian barat. Pulau Marak tidak berpenghuni dan hingga kini merupakan lokasi persinggahan nelayan dan tempat masyarakat memetik kelapa.

Harapan bawah laut

Namun, kondisi di bawah permukaan laut tidak seramai di daratan. Pada penyelaman dengan metode menahan napas hingga kedalaman sekitar 4 meter terlihat sedimentasi tebal menutupi hamparan terumbu karang bercabang yang mati.

Hanya terdapat jenis Porites sp dan sebuah koloni hewan laut anemon dalam satu bidang pengamatan. Ikan yang dominan terlihat adalah jenis indikator seperti Acanthurus sp yang jumlahnya relatif banyak dalam rombongan besar.

Jarak pandang relatif baik meskipun kekeruhan telatif tinggi. Pasalnya, penyelaman dilakukan pada tengah hari dan dipengaruhi pola arus balik yang mengaduk material dasar berupa pasir.

Peneliti Yayasan Minang Bahari, Samsuardi, mengatakan, kematian massal terumbu karang itu kemungkinan dipengaruhi oleh fenomena red tide. Ini terjadi ketika populasi fitoplankton meledak sekitar 1997 sehingga menyebabkan kematian massal terumbu karang.

Menurut salah seorang nelayan setempat, Agusman, hal itu tak terlepas dari penggunaan potasium untuk menangkap ikan di masa lalu. ”Sepuluh tahun lalu terumbu karang masih bagus dan terlihat warna-warni. Ikan tenggiri, bawal, dan kerapu masih banyak, tapi sekarang sudah tidak terlihat lagi,” ucapnya.

Pada bagian perairan dangkal terlihat teripang hitam (Holothuria nobilis) yang nilai ekonomisnya relatif rendah. Tidak terlihat teripang pasir (Holothuria scabra) yang nilai ekonomisnya relatif tinggi.

Namun, masih bisa dilihat kima besar (Tridacna maxima). Kima adalah satwa berkelamin ganda yang bersimbiosis dengan Zooxanthellae untuk beroleh makanan serta lewat filterisasi partikel organik perairan.

Tridacna maxima terdaftar dalam Appendiks II Konvensi Internasional untuk Perdagangan Spesies Langka (CITES). Keberadaannya sekaligus menjadi indikator masih bersihnya ekosistem perairan.

Bakal ditinggalkan

Sebagai lokasi rehabilitasi satwa, Pulau Marak bakal ditinggalkan waktu tiga tahun mendatang. Sebagian satwa yang siap akan dilepasliarkan ke kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Jambi.

Sebagian lain direhabilitasi ke lokasi baru di Nagari Supayang, Kecamatan Payung Sekaki, Kabupaten Solok, Sumbar. Di lokasi itu kini sudah terdapat 11 siamang dan owa serta seekor beruang madu dalam kawasan seluas sekitar 8 hektar.

Selanjutnya, Pulau Marak dijadikan kawasan konservasi alami dan menanti kepastian status itu lewat produk peraturan daerah. Karena itu, Asferi berharap dukungan nyata dari pemerintah, misalnya dengan menerapkan konsep ekoturisme.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com