Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Pancake Belanda Hingga Gaya Kamikaze

Kompas.com - 12/10/2012, 14:14 WIB
Siwi Yunita Cahyaningrum

Penulis

Soal jersey, bagi saya memakai jersey selalu terlihat konyol, apalagi jika desainnya buruk. Tapi tak apalah, jersey hampir selalu punya kantong di belakang yang bisa saya pakai untuk menyimpan pisang atau coklat yang memang makanan pendongkrak energi terbaik.

Pada Kamis sore (13/9/2012), kami berkumpul di Hotel Santika Siligita di Nusa Dua. Kami ternganga melihat sepeda-sepeda bagus yang dibawa peserta lain. Pesertanya berasal dari Jakarta, Surabaya, Bali, dan beberapa dari luar negeri.

Ya Tuhan, semua terlihat serius? Tapi peduli amat, saya pun memilih memompa ban dan memeriksa sepeda-sepeda saya, dan menikmati bir dingin. Sepertinya aku meremehkan perjalanan ini.

Akan tetapi, setidaknya ada yang membuatku senang, yakni aku bukan yang tertua dan sepertinya aku tak akan jadi yang terakhir di barisan pesepeda.

Di Kompas Bali Bike, Rolland yang berkebangsaan Swiss sudah berumur 68 tahun. Jadi saya percaya diri saja dan… oh.. ternyata beberapa hari kemudian kesimpulanku itu terbukti salah.

Ubud 14 September 2012, pada pagi hari tanggal 14, kami ikut acara pembukaan. Bendera start dikibarkan dan kami menggowes sepeda menempuh 102 km jalan mendatar. Peserta tepat waktu datang di Ubud.

Percaya diri jadi tumbuh. Perjalanan yang gampang!! Sambutannya pun menyenangkan. Gadis muda dengan hiasan kembang di rambut, menyodorkan segelas minuman koktail berhias bunga. Makan siang yang enak pun menanti ditambah buah tropis tentu saja.

Keindahan dan keramahan itu hanya sebagian kecil dari keindahan dan keanggunan Indonesia. Bersepeda macam ini tak ada di Belanda.

Setelah makan siang, Kompas memberi waktu kami untuk beristirahat dan mengeksplor Ubud sebelum kami naik sepeda lagi ke Candidasa.

Tenganan, di mana kami menyelesaikan etape 1 sungguh sangat indah. Tarian Bali dari dua gadis desa membuat kami terkagum-kagum. Sangat sinkron dan serasi, indah dilihat.

Kepala desa juga memberikan pidato yang menarik. Tapi saya ingin segera ke hotel untuk tidur di seprai yang lembut. Hotel yang kami tempati, Nirwana, tepat di tepi pantai. Saya dan istri menikmati deburan ombak di malam yang romantis. Seolah deburan ombak Selat Lombok itu ada di sebelah kamar.

Medan terberat

Candi Dasa 15 September 2012, hHari kedua seperti neraka. Naik sejauh 1.400 meter di atas permukaan laut ke pegunungan berarti pembunuhan bagi orang Belanda seperti saya. Bagaimana tidak, negara kami sedatar pancake.

Sikap remeh menghadapi jalur sepeda pun hilang seketika. Pada tanjakan di bukit kedua, semua kepercayaan diri langsung terkikis habis. Saat mendaki bukit ketiga, saya harus turun dari sepeda dan menuntunnya perlahan sambil mencoba tetap bernafas teratur.

Meski demikian, saya tetap pakai helm dan sarung tangan. Memang terasa berlebihan, karena saya berjalan kaki. Apa boleh buat, itu tidak boleh dilepaskan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com