Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ada Pesta di Saat Suka dan Duka

Kompas.com - 30/12/2012, 03:11 WIB

Momen seperti itu biasanya melibatkan dan disaksikan ribuan orang dengan berbagai latar belakang. Tidak hanya kerabat dan kenalan, sejumlah pelancong domestik dan asing hadir untuk menyaksikan upacara itu, terutama saat mallaga tedong atau adu kerbau digelar. Tanpa diundang, mereka mengalir dari berbagai sudut Toraja. Sebagian datang karena hendak berjudi dengan obyek kerbau yang diadu. Mereka memasang taruhan dengan nilai terendah Rp 300.000.

Pada upacara penguburan Bertha Mingu Kala’lembang di Makale, Tana Toraja, Jumat (28/12), sejumlah menteri dan gubernur dari beberapa provinsi juga hadir. Maklum, Bertha termasuk keluarga bangsawan Toraja, yang rangkaian upacara penguburannya pun sudah dimulai pada November 2012 dan baru akan berakhir 31 Desember 2012. ”Awalnya kami bahkan menyiapkan upacara untuk dihadiri Presiden Yudhoyono,” ujar Alexander Andi Lolo, cucu Bertha.

Berapa uang yang dihabiskan untuk upacara sebesar itu? Alexander tidak mau mengatakannya. Namun, dia tidak menolak ketika disebutkan angka Rp 5 miliar. ”Yang jelas keluarga menyesuaikan (upacara) dengan status nenek,” katanya. 

Pertaruhan gengsi 

Selain untuk menghormati nenek moyang, sebagian orang Toraja memandang pesta sebagai ajang pertaruhan gengsi. ”Orang Toraja tidak mau dipandang tidak mampu karena gengsinya tinggi,” ujar Dedi Pasolang (27), pemuda Kampung Eran Batu, Toraja Utara.

Dedi tidak asal bicara. Tidak sedikit kenalan dan kerabatnya harus menanggung utang demi menyumbang keperluan pesta. Apa mau dikata, mereka yang pernah menerima bantuan untuk keperluan pesta merasa wajib ”mengembalikan” sumbangan itu. Apalagi ada kebiasaan penyelenggara pesta memeriksa kembali catatan keluarga yang pernah dikunjungi atau disumbang saat mereka menggelar pesta. Pihak yang ada di daftar itu diprioritaskan untuk diundang. ”Tidak selalu untuk menuntut pengembalian sumbangan, tapi untuk menjaga persaudaraan,” tutur Agus, pelaut asal Toraja, yang tengah cuti.

Sebenarnya, kata antropolog Universitas Hasanuddin, Stanislaus Sandarupa, adat Toraja tidak mengharuskan kemewahan dalam berbagai pesta. ”Rambu solo’ tidak harus potong puluhan kerbau. Kalau tidak mampu, sebenarnya cukup pukul tempat makan babi,” kata Stanislaus.

Namun, saat ini, lanjutnya, terjadi ”pengeditan budaya” sesuai kebutuhan. Motif membuat pesta, misalnya, mulai bergeser, begitu pula tata cara upacara. Itu semua ada kaitannya dengan perubahan pola tanam padi, sistem kepercayaan, gaya hidup, dan pola kerja masyarakat.

Ia mencontohkan, rambu solo’ lazimnya digelar Juli hingga September atau setelah masa panen padi, yang pada masa lalu hanya terjadi setahun sekali. Setelah diperkenalkan padi yang lebih cepat tumbuh, masa panen pun bergeser. Selanjutnya, rambu solo’ pun ikut-ikutan bergeser. ”Sekarang lebih memprihatinkan lagi, pada bulan Desember, ketika mayoritas keluarga, termasuk dari rantau, sedang berkumpul merayakan kelahiran Yesus Kristus, malah diselenggarakan rambu solo’, yang tidak lain adalah upacara kematian, demi alasan kepraktisan,” ujar Stanislaus.

Seharusnya, kata Stanislaus, pada bulan Desember hanya ada perayaan Natal dan upacara sawah tanda mulai masuk masa menanam padi. Justru upacara tanam padi ini yang hilang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com