Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Hanya Wariskan Taktik Gerilya, Juga Makanan

Kompas.com - 14/04/2013, 06:30 WIB

Semasa perang, Azhar dan pasukannya mendirikan markas di dalam hutan yang bisa dicapai 2-3 hari perjalanan dari kampung. Di markas itu ada 80 pondok yang rata-rata dihuni empat orang untuk satu pondok. Bahan makanan penghuni markas dipasok langsung dari kampung.

”Kami mendapatkan beras, biji-bijian, garam, gula, kopi, rokok, sampai daging sapi dari keluarga, kerabat, dan kenalan di kampung-kampung di pinggir hutan. Bahkan, kami bisa mendapatkan genset, printer, komputer, dan telepon satelit,” tutur Azhar.

Kehidupan relatif berjalan normal di markas meski makanan tetap saja terbatas. Itulah yang membuat Azhar berani membawa istrinya tinggal di hutan. Ketika istrinya hamil besar, Azhar membawanya turun ke kampung untuk melahirkan. Setelah kenduri, Azhar membawa istri dan bayinya kembali ke dalam hutan.

Untuk mengantisipasi serangan, Azhar menyembunyikan bahan makanan di pondok-pondok darurat di tengah hutan. Biasanya, bahan makanan dimasukkan ke dalam botol-botol minuman dan ditanam di tanah. Ketika diperlukan, bahan makanan itu tinggal digali.

Selama pasokan bahan makanan dari kampung-kampung di pinggir hutan lancar, Azhar menegaskan, 100 tahun berperang pun sanggup. Apalagi, jika pasokan kari kambing dari kampung ke hutan berlangsung lancar yang menandakan adanya dukungan warga.

Kami pun teringat dengan pengalaman saat dijamu pasukan GAM di kawasan Aceh Timur, beberapa saat sebelum perjanjian damai, pertengahan 2005. Setelah berjalan kaki dengan mata ditutup, kami tiba di pondokan kecil di tepi hutan. Dan begitu duduk, kami segera dijamu kare kameng yang masih hangat. Kari kambing itu telah menjadi semacam alat politik untuk menggambarkan betapa mereka yang berada di hutan berkelimpahan logistik.

Propaganda serupa telah dilakukan sultan-sultan Aceh kala menjamu para pendatang dari Barat. Anthony Reid (2005) menuliskan, ketika menjamu utusan Belanda, Thomas Best, Sultan Iskandar Muda (1607-1636) menyuguhkan paling tidak 400 jenis makanan dan minuman yang cukup untuk menjamu ratusan prajurit.

Padahal, masyarakat Aceh saat itu, menurut Denys Lombard (1991), mengalami krisis beras karena nyaris seluruh tenaga rakyat terserap untuk menanam lada dan sebagian lagi menjadi pasukan Sultan. ”Semua penjelajah Eropa menegaskan bahwa beras (di Aceh) jarang ada dan mahal,” kata Lombard. Dia mengutip catatan perjalanan James Lancaster ke Aceh pada 1602: ”Beras didatangkan dari tempat lain….” Dan berdasarkan catatan Beaulieu, kira-kira 20 tahun kemudian, beras yang ”didatangkan dari Pidir (Pidie) dan dari Daya tidak memadai, maka diadakan pengiriman lewat laut dari Semenanjung (Malaya).”

Namun, dari segenap ironi di Aceh, para pendatang dari Barat mengakui tentang kemegahan kenduri dan legitnya makanan Aceh. Bahkan, pasukan marsose Belanda yang pernah mengalami hidup mati saat berperang di Aceh memiliki kerinduan terhadap aneka kuliner Aceh. Untuk menarik para mantan anggota pasukan agar datang dalam ulang tahun ke-40 Korps Marsose Aceh yang digelar di kamar bola De Witte di Gravenhage, Belanda, pada 2 April 1930, panitia menyebar undangan yang diberi judul ”Kandoeri Rajeu” atau kenduri besar.

Dalam undangan disebutkan aneka jenis makanan khas Pidie, Bakongan, Takengon, dan Meulaboh yang mereka santap kala perang. Rupanya para serdadu Belanda itu rindu masakan Aceh, terutama kari yang membuat nagih. Jangan-jangan mereka pun sudah terkena bakung Aceh yang sohor itu…. (Ahmad Arif, Budi Suwarna, Aryo Wisanggeni Gentong)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com