Batik, lanjut Romi, diperkirakan masuk ke Pekalongan sekitar abad XVI, sejak zaman Mataram Hindu. Namun, industri batik mulai berkembang sekitar abad XIX, saat Belanda memperkenalkan pewarna sintesis ke Indonesia.
Batik tidak hanya visualisasi gambar, tetapi juga mengandung visualisasi spiritual. Dalam kain batik terdapat energi mistis religius, yang tidak dimiliki tekstil lainnya. Dalam sejarah, proses pembuatan batik diawali dengan ritual, seperti puasa, karena ada pengharapan atau doa dari makna kain itu, seperti batik wahkyu tumurun, sido drajat, dan sido mukti. Nenek moyang dulu apabila membatik, juga langsung berhadapan dengan alam, dan melakukan kontak langsung dengan flora dan fauna.
Ketua Paguyuban Pencinta Batik Pekalongan, Fatchiyah A Kadir, yang mengusung merek batik Tobal, pun meyakini batik bukan hanya tren sesaat. Dia yang sudah menggeluti usaha batik sejak tahun 1970, menjadi saksi sejarah pasang surut batik.
Saat itu, tahun 1971, batik hampir meredup akibat membanjirnya produk tekstil (printing) bermotif batik. Namun, Fatchiyah membuktikan, dengan mempertahankan batik, ia bisa mengatasinya. Dia menembus pasar luar negeri sehingga justru akhirnya hingga tahun 2007, hanya melayani pasar luar negeri, antara lain Australia, Amerika Serikat (AS), Perancis, dan Kanada.
Kini, dua dari empat anaknya juga total menekuni batik. Putra ketiganya, Umar Ahmad, yang mengenyam pendidikan manajemen di Australia, dan lulus tahun 1992, awalnya sempat memilih bekerja pada perusahaan ekspor impor di Bali. Namun, ia akhirnya memilih pulang ke Pekalongan dan menekuni usaha batik milik keluarganya.
”Batik itu memberikan berkah karena melibatkan banyak orang, dan menghidupi banyak orang,” tutur Umar.
Perkembangan batik makin pesat dalam delapan tahun terakhir. Jumlah tenaga kerja pembatik muda juga bertambah. Dulu, hampir semua pembatik pada usahanya merupakan pembatik tua. Namun, kini sekitar 140 tenaga kerja pada usahanya, atau sekitar 25 persen, adalah pembatik muda berusia di bawah 30 tahun.
”Baju bagian dari hidup. Batik ada di dalamnya. Inovasi selalu ada karena manusia berakal dan kreatif. Di sisi lain, kebanggaan atas keluhuran budaya lokal yang menjadi identitas diri terus ada di hati dan pikiran orang Indonesia,” kata Failasuf. (Siwi Nurbiajanti dan Neli Triana)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.