Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 20/07/2013, 18:03 WIB

Saat mulai menenun, tambahnya, ibarat seorang anak perempuan yang masuk ke dunia pendidikan. ”Kalau sekolah dasar (SD) harus masuk usia enam tahun, menenun diwajibkan usia lima tahun. Karena hanya dengan menenun, kami bisa hidup. Di Pulau Ndao sendiri, tiap hari, kaum perempuan selalu menenun meskipun hanya beberapa jam,” ujarnya.

Dengan bekal keterampilan menenun yang dikuasainya, seorang perempuan Ndao akan sangat dihargai di mata kaum pria. Kekerasan dalam rumah tangga pun dapat dihindari dengan memiliki keterampilan tersebut. ”Oleh karena itu, nilai emas kawin seorang perempuan Ndao diukur dari keterampilannya menenun,” kata Fransina.

Alasannya, dengan menenun, seseorang butuh kesabaran, ketekunan, kelemahlembutan, pengorbanan, dan kesederhanaan. Itu karena, untaian-untaian benang berukuran 0,5-0,7 milimeter, yang beraneka warna, dirangkai dengan lurit atau sebatang kayu halus berukuran 1 meter dan lebar 10 sentimeter yang berfungsi menekan atau merapatkan benang-benang itu untuk membentuk lembaran-lembaran kain.

Namun, kata Eni, hanya orang yang kesulitan ekonomi dan materi yang mampu menenun kain ikat tersebut. ”Satu kain tenun ikat bisa diselesaikan keseluruhannya dalam satu bulan. Namun, jika dikerjakan setiap hari, dari pagi hingga malam, kain tenun itu bisa diselesaikan dalam tiga hari,” lanjutnya.

Sebenarnya, hingga tahun 1995, warga Ndao masih menggunakan benang asli yang berasal dari tanaman kapas yang ditanam dan diproses secara manual. Bahkan, kaum perempuan Ndao juga ikut membantu para suami menanam tanaman kapas tersebut.

Selain memanen, mereka kemudian memprosesnya menjadi benang secara manual, dengan cara memisahkan kapas dari biji-bijinya. Sebelumnya, kapas dihaluskan dengan tangan terlebih dulu. Potongan-potongan kapas kemudian disambung dan diputar dengan alat yang terbuat dari kayu. Seperti putaran gasing, peralatan tersebut diputar dengan bantuan jari-jari tangan.

Pintalan benang tersebut selanjutnya digulung dan kemudian diberi warna sesuai dengan selera masing-masing dengan zat pewarna tradisional. Cara pewarnaan pun tak mudah. Dengan cara dimasak, benang yang diwarnai, warnanya akan lebih bertahan.

”Namun, kain sarung yang dihasilkan dari benang jenis tersebut dinilai kasar, berat, dan mudah luntur jika pewarnaannya tidak kuat. Tenun ikat jenis ini pun jarang diminati orang untuk dikenakan sehari-hari. Mereka mengenakannya pada saat acara adat,” ujar Eni.

Berkembang dinamis

Namun, sejak tahun 1997, benang-benang tenun mulai digantikan dengan benang tenun buatan pabrik, yang ramai dijual di toko-toko di Kota Kupang. ”Benang pabrikan lebih halus, lembut, dan ringan sehingga menghasilkan kain tenun ikat yang lebih berkualitas daripada sebelumnya,” katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Rekomendasi untuk anda
28th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com