Selain memanen, mereka kemudian memprosesnya menjadi benang secara manual, dengan cara memisahkan kapas dari biji-bijinya. Sebelumnya, kapas dihaluskan dengan tangan terlebih dulu. Potongan-potongan kapas kemudian disambung dan diputar dengan alat yang terbuat dari kayu. Seperti putaran gasing, peralatan tersebut diputar dengan bantuan jari-jari tangan.
Pintalan benang tersebut selanjutnya digulung dan kemudian diberi warna sesuai dengan selera masing-masing dengan zat pewarna tradisional. Cara pewarnaan pun tak mudah. Dengan cara dimasak, benang yang diwarnai, warnanya akan lebih bertahan.
”Namun, kain sarung yang dihasilkan dari benang jenis tersebut dinilai kasar, berat, dan mudah luntur jika pewarnaannya tidak kuat. Tenun ikat jenis ini pun jarang diminati orang untuk dikenakan sehari-hari. Mereka mengenakannya pada saat acara adat,” ujar Eni.
Berkembang dinamis
Namun, sejak tahun 1997, benang-benang tenun mulai digantikan dengan benang tenun buatan pabrik, yang ramai dijual di toko-toko di Kota Kupang. ”Benang pabrikan lebih halus, lembut, dan ringan sehingga menghasilkan kain tenun ikat yang lebih berkualitas daripada sebelumnya,” katanya.
Salah satu kekhasan kain tenun ikat Ndao adalah motif tenun ikat Rote yang berubah-ubah secara dinamis. Suatu saat bisa bermotif binatang, seperti cecak, ayam, sapi, kerbau, atau bisa juga lontar. Namun, suatu saat bisa saja bermotif burung, panah, parang, dan tombak, atau alat musik sasando.
”Belakangan, turis asing juga meminta motif tertentu, sesuai dengan selera mereka sendiri,” kata Eni.
Keanekaragaman motif itulah yang mendorong sejumlah sekolah di Rote mengirim anak-anak sekolah menengah pertama dan menengah atas mengikuti keterampilan menenun dasar di Dusun Ndao. Rata-rata setiap sekolah mengutus 5-10 anak perempuan.
Sayangnya, para penenun di Dusun Ndao mengaku tak pernah mendapat bantuan sama sekali dari Pemerintah Kabupaten Rote Ndao. Tenunan mereka juga tak pernah dipromosikan. Warga pun berjuang sendiri menjual kain tenunan mereka ke Kupang.
”Kalau ada pameran 17 Agustusan di Rote dan di Kupang, kami ikut secara sukarela. Semua biaya ditanggung perajin tanpa dukungan dari pemerintah,” tuturnya.
Stef Duli (53), warga dusun Ndao, menambahkan, meski tak ikut menenun, kaum pria membantu memasarkannya ke Kabupaten Rote Ndao, Kota Kupang, dan Kabupaten Kupang. ”Istri dan tiga anak perempuan saya ada di Ndao untuk menenun. Kami yang akan menjual dan mempromosikan tenunan,” ujarnya. (KORNELIS KEWA AMA)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.