Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Santap Berlauk "Makian" ala Surabaya

Kompas.com - 26/09/2013, 15:47 WIB

Begitu mengambil sejumlah nasi bungkus dan lauk, kami duduk lesehan dan bersantap sambil menanti datangnya sinom, jamu khas Surabaya. Namun, belum lagi sinom datang, kami sudah kena semprot Cak Mis gara-gara bolak-balik mengambil lauk.

Njukuk lepek po’o. Wong nggawe lepek gak leren mbayar ae lho! (Pakai tatakan saja. Memakai tatakan tidak perlu bayar!),” ujar Cak Mis pedas, ngomel-ngomel. Jangan kaget, banyak pelanggan justru datang karena kangen ingin ”dimaki” dan balas ”memaki” Cak Mis.

Misalnya, Ahmad. Buat Ahmad, cara Cak Mis memarahi jauh lebih lunak dibandingkan makiannya sepuluh tahunan lalu saat ”memaki” pembelinya dengan jancuk! dan dibalas lagi dengan makian jancuk. ”Koen kok seiki gak misuhan Mis (Kok kamu tidak rajin lagi memaki, Mis)?” ujar Ahmad bertanya karena penasaran.

Leren. Aku diseneni anakku, anakku saiki wis SMA je. Jarene, ’Bapak kakehan model’ (Berhenti. Saya diomeli anak saya, dia kan sekarang sudah SMA. Katanya, ’Bapak terlalu banyak tingkah’,” ujar Mis tertawa. Namun, Cak Mis tetap saja pintar mengocok perut dengan deretan penamaan santapan dan layanan yang unik: pakan doro alias dadar jagung, kerisdayanti alias sate usus, kolam renang alias kobokan untuk mencuci tangan, dan banyak lagi.

Banyak orang bertingkah lucu agar dagangannya laris, tetapi Cak Mis tak perlu bertingkah lucu untuk membuat orang tertawa. Dia ”memaki-maki” pun pelanggannya tertawa-tawa.

Khas kota bandar

Antropolog Universitas Negeri Malang, Abdul Latif Bustami, menyebutkan, riang dan gaduhnya warung-warung di Surabaya tidak lepas dari sejarah Surabaya sebagai kota bandar. Toleransi tinggi dan sifat egaliter terbentuk karena Surabaya menjadi kota bagi semua orang.

”Fenomena keakraban di warung-warung Surabaya itu sebenarnya fenomena yang umum di sejumlah kota bandar di Nusantara. Sebagai kota yang selama ratusan tahun menjadi bagian dari perdagangan internasional, segala macam orang dari beragam latar budaya tinggal di Surabaya. Semua orang belajar bertoleransi, sekaligus menikmati kelonggaran hubungan patron-klien. Di warung ataupun di luar warung, semua orang menempatkan diri setara,” kata Bustami.

Nilai-nilai egalitarian itulah yang menopang sifat terbuka. Segala bentuk komunikasi yang bisa disalahartikan pun dipupus sehingga orang Surabaya selalu dikenal karena pilihan ungkapan dan kata yang sederhana, tegas, dan bernas, seperti ungkapan Freddy tadi.

Penikmat kuliner Surabaya, Dukut Imam Widodo, mencatat, orang Surabaya terbiasa berpikir sederhana dan tak berbelit, dan itu tampak dari beragam nama kulinernya. Dukut juga tak mau berbelit saat memberi judul bukunya yang membedah beragam kuliner khas Surabaya. Judulnya, Monggo Dipun Badhog, artinya ya silakan dimakan.

”Ini soal cita rasa berbahasa, dan itu dipengaruhi latar belakang budaya orangnya. Orang Surabaya memang tak pernah menyebut ’makan’ dengan kata dahar yang lazim dipakai di kalangan priayi Jawa. Buat orang Surabaya, makan itu ya mbadog, aktivitas yang rileks yang tak terbelenggu pranata-pranata,” kata Dukut.

Itulah jika Anda tiba-tiba mendengar kata ”makian” di warung tepi jalanan di Jawa Timur, jelas bukan pertanda benci, melainkan rasa persahabatan yang sederhana.... (Aryo Wisanggeni dan Ingki Rinaldi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com