Cermin keharmonisan
Dalam keseharian, masing- masing keluarga di rumah adat menempati ruang berukuran sekitar 4 x 3 meter di bagian rumah yang disebut tenda. Tenda adalah lantai utama di dalam mbaru niang, tempat warga melakukan aktivitas sehari-hari, seperti tidur, makan, dan memasak. Untuk keperluan masak, masing-masing keluarga memiliki tungku perapian di bagian tengah rumah.
Laki-laki Wae Rebo biasanya turun ke Pasar Kombo di Denge di hari Minggu, membawa kopi hasil kebun. Hasil penjualan kopi digunakan untuk membeli bahan kebutuhan pokok, seperti beras dan lauk pauk.
Warga biasanya menyimpan hasil bumi, seperti kopi, jagung, ubi jalar atau talas, di bagian atap rumah yang disebut loteng. Loteng lapis pertama disebut lobo, lalu ada lentar, lemparae, dan hekang kode.
Titik pusat rumah berada di tiang bongkok atau tiang utama. Pintu-pintu kamar menghadap ke tiang bongkok yang melambangkan hak setiap penghuni rumah yang sama rata.
Meski nilai-nilai kekerabatan terus dilestarikan, tak ada catatan jelas mengenai waktu kedatangan Kakek Maro di Wae Rebo. Dari tuturan cerita, sebelum tinggal di Wae Rebo, Maro beberapa kali berpindah. Diperkirakan, usia Kampung Wae Rebo mencapai ribuan tahun.
”Kakek Maro tinggal di Wae Rebo setelah mendapat petunjuk melalui mimpinya. Lokasi yang dipilih diberi nama Wae Rebo, artinya mata air. Mata air itu berjarak sekitar 2 kilometer dari kampung,” kata Yosep.
Sikap hidup masyarakat Wae Rebo yang rendah hati tecermin dalam penggunaan ikat kepala yang disebut sappu. Ikatan yang rata, tanpa lengkungan ke atas, menunjukkan sikap rendah hati. Sikap ini diejawantahkan dalam keramahan menyambut orang yang datang berkunjung.
Ketua Lembaga Masyarakat Adat Wae Rebo Fransiskus Mudir menyatakan, ”Kami menerima keterbukaan kampung ini dan sadar akan membawa dampak. Kami bertekad untuk membina generasi muda Wae Rebo agar budaya nenek moyang kami tetap lestari.”
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan Wiendu Nuryanti dalam kunjungan ke Wae Rebo mengatakan, program revitalisasi desa adat tak hanya dilakukan untuk memperbaiki fisik desa adat, tetapi yang lebih penting adalah menjaga adat budaya serta nilai-nilai kekerabatan yang menjadi kekhususan komunitas itu. (Dwi As Setianingsih)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.