Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Salam Cinta Indonesia dari Lovina

Kompas.com - 05/10/2013, 13:09 WIB
SEMILIR angin ditingkahi debur ombak menyambut kedatangan kami di Pantai Lovina, Desa Kalibukbuk, Kabupaten Buleleng, Bali. Sejauh mata memandang, yang tampak hanya lautan. Biru. Perahu berjajar rapi di pantai.

Sejumlah wisatawan asing berjemur di hamparan pasir hitam. Sejumlah pasangan turis berjalan santai menyusuri pantai. Santai, seolah menikmati setiap detail keelokan yang tersaji di kawasan Bali utara ini.

Pantai Lovina merupakan salah satu tempat wisata yang terkenal di Bali. Letaknya sangat strategis karena berada di ibu kota pemerintahan Kerajaan Singaraja. Lovina boleh dibilang merupakan duta Singaraja untuk dunia.

Dibutuhkan perjalanan darat selama kurang lebih tiga jam dari Denpasar untuk mencapai Lovina. Akses jalan melalui kawasan Danau Bedugul bagus beraspal hotmix. Yang perlu diperhatikan adalah kondisi jalanan yang berkelok, menanjak, dan menurun mengitari bukit.

Made Darmawan, teman kami yang menjadi pengusaha setempat, mengatakan, Lovina tak pernah sepi dari turis. Kehadiran turis asing yang dominan dibandingkan turis lokal membuat bisnis pariwisata di Lovina terus menggeliat.

Dominasi turis asing di Lovina bukan cerita baru. Sejarah mencatat, Lovina bisa hidup, terkenal, dan bertahan berkat pelancong dari negeri tetangga. Wisatawan domestik justru hadir belakangan, setelah Lovina mencuri perhatian dunia.

Pemilik Lovina Beach Hotel, Anak Agung Ngurah Sentanu, menceritakan, Lovina lahir dari impian seorang pujangga pada tahun 1950-an bernama Anak Agung Pandji Tisna. Impian itu muncul sepulang sang pujangga dari perjalanan ke sejumlah negara di Eropa dan Asia.

”Saat itu, Pandji berkunjung ke Mumbai, India. Ia melihat sebuah tempat di tepi pantai yang ditata indah untuk bersantai. Tempat itu memiliki kesamaan dengan kawasan pantai di Bali utara, tepatnya di Kabupaten Buleleng,” ujarnya.

Sepulang dari perjalanan tahun 1953, Pandji Tisna membangun sebuah pondok di tepi pantai yang kemudian diberi nama Lovina. Kata Lovina diambil dari kata love dan ina. Ina merupakan kependekan dari kata Indonesia.

Lovina dibangun sebagai penginapan bagi pelancong yang ingin menikmati pesona alam di pantai ”perawan”, belum banyak terjamah manusia. Bahkan karena keperawanan kawasan itu, lumba-lumba pun betah tinggal di lepas Pantai Lovina.

Fasilitas penginapan di Lovina pada awalnya hanya ada tiga kamar tidur dan sebuah restoran. Walau minim, Lovina, yang selanjutnya berpindah tangan dari Pandji Tisna kepada Sentanu pada 1959, tak pernah sepi. Waktu itu, Singaraja masih menjadi ibu kota Kepulauan Sunda Kecil dan Provinsi Bali.

Diterpa badai

Dalam perjalanannya, Lovina sempat diterpa ”badai”. Mula-mula, Lovina mendapat tanggapan miring dari kalangan pelaku bisnis di Bali. Lovina dianggap mustahil berkembang karena tempatnya terpencil, terlalu jauh dari kawasan Denpasar yang sudah menjadi pusat turis. ”Pantainya biasa, pasirnya juga hitam tidak seperti pantai Kuta yang berpasir putih,” ujar Sentanu.

Seiring waktu, guncangan badai terhadap kawasan Lovina makin hebat. Pada 1960-an, ibu kota pemerintahan dipindahkan dari Singaraja ke Denpasar. Dampaknya, para pejabat dan pelaku bisnis yang sebelumnya sering menginap di Lovina tak lagi datang.

Satu-satunya napas Lovina adalah kunjungan turis asing. Namun, itu juga tak bertahan lama. Dunia pariwisata internasional kehilangan Lovina ketika Gubernur Bali Ida Bagus Mantera pada 1980 melarang penggunaan nama Lovina. Alasannya, nama itu bukan kosakata bahasa Bali. Nama Lovina pun diganti dengan kawasan wisata Kalibukbuk yang diambil dari nama desa. Ini menjadi klimaks dari derita Lovina.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ketua PHRI Sebut Perkembangan MICE di IKN Masih Butuh Waktu Lama

Ketua PHRI Sebut Perkembangan MICE di IKN Masih Butuh Waktu Lama

Travel Update
Astindo Nilai Pariwisata di Daerah Masih Terkendala Bahasa Asing

Astindo Nilai Pariwisata di Daerah Masih Terkendala Bahasa Asing

Travel Update
Kereta Api Lodaya Gunakan Kereta Eksekutif dan Ekonomi Stainless Steel New Generation Mulai 1 Mei 2024

Kereta Api Lodaya Gunakan Kereta Eksekutif dan Ekonomi Stainless Steel New Generation Mulai 1 Mei 2024

Travel Update
Deal With Ascott 2024 Digelar Hari Ini, Ada Lebih dari 60 Properti Hotel

Deal With Ascott 2024 Digelar Hari Ini, Ada Lebih dari 60 Properti Hotel

Travel Update
4 Tempat Wisata Indoor di Kota Malang, Alternatif Berlibur Saat Hujan

4 Tempat Wisata Indoor di Kota Malang, Alternatif Berlibur Saat Hujan

Jalan Jalan
3 Penginapan di Rumpin Bogor, Dekat Wisata Favorit Keluarga

3 Penginapan di Rumpin Bogor, Dekat Wisata Favorit Keluarga

Hotel Story
Pendakian Rinjani 3 Hari 2 Malam via Sembalun – Torean, Perjuangan Menggapai Atap NTB

Pendakian Rinjani 3 Hari 2 Malam via Sembalun – Torean, Perjuangan Menggapai Atap NTB

Jalan Jalan
Rekomendasi 5 Waterpark di Tangerang, Harga mulai Rp 20.000

Rekomendasi 5 Waterpark di Tangerang, Harga mulai Rp 20.000

Jalan Jalan
Tips Pilih Kursi dan Cara Hindari Mual di Pesawat

Tips Pilih Kursi dan Cara Hindari Mual di Pesawat

Travel Tips
4 Playground di Tangerang, Bisa Pilih Indoor atau Outdoor

4 Playground di Tangerang, Bisa Pilih Indoor atau Outdoor

Jalan Jalan
Tradisi Syawalan di Klaten, Silaturahmi Sekaligus Melestarikan Budaya dan Tradisi

Tradisi Syawalan di Klaten, Silaturahmi Sekaligus Melestarikan Budaya dan Tradisi

Jalan Jalan
Aktivitas Seru di World of Wonders Tangerang, Bisa Nonton 4D

Aktivitas Seru di World of Wonders Tangerang, Bisa Nonton 4D

Jalan Jalan
Cara ke Pasar Senen Naik KRL dan Transjakarta, buat yang Mau Thrifting

Cara ke Pasar Senen Naik KRL dan Transjakarta, buat yang Mau Thrifting

Travel Tips
8 Tips Kemah, dari Barang Wajib DIbawa hingga Cegah Badan Capek

8 Tips Kemah, dari Barang Wajib DIbawa hingga Cegah Badan Capek

Travel Tips
Harga Tiket Candi Borobudur April 2024 dan Cara Belinya

Harga Tiket Candi Borobudur April 2024 dan Cara Belinya

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com