”Penebangan pohon cengkeh di Ternate dan Tidore oleh Belanda adalah tindakan paling menyakitkan,” tambah Syahril. Penebangan dilakukan karena Belanda ingin memindahkan perkebunan cengkeh ke Ambon, Saparua, dan Seram agar lebih mudah dikendalikan.
Belanda juga mengembangkan Kepulauan Banda sebagai basis perkebunan pala. Mereka mengusir orang Banda yang tak tunduk pada kemauan mereka dan mendatangkan orang Jawa, Buton, dan Makassar untuk bekerja di perkebunan orang Belanda.
Semasa penjajahan bangsa Eropa, pedagang China dan Makassar tetap datang ke Maluku. Mereka mengembangkan perdagangan non-rempah dengan membeli burung cenderawasih, kulit penyu, sirip hiu, mutiara, kulit kerang, dan tripang untuk ditukar dengan beras atau aneka porselen.
Seiring surutnya perdagangan rempah di abad ke-18 dan Indonesia Merdeka di tahun 1945, warga berbagai bangsa tidak serta-merta meninggalkan Maluku. Mereka tetap tinggal di sana dan menjadi orang Maluku.
Konflik
Selama ratusan tahun, keberadaan aneka suku bangsa, agama, dan budaya itu tak menimbulkan persoalan. Kehadiran suku-suku bangsa Nusantara lainnya ke Kepulauan Maluku seiring kemajuan pembangunan makin memperkaya keragaman yang ada.
Namun, ikatan persaudaraan itu koyak saat pecah konflik sosial yang dibalut kepentingan politik pada 1999-2004. Kepercayaan sebagai orang basudara pupus, tergantikan kecurigaan hanya karena agama dan suku mereka berbeda. Mereka mengingkari keragaman orang Maluku yang sudah ada ribuan tahun.
Kemajuan peradaban yang sudah dicapai bagai dicampakkan. Kota hancur, kualitas pendidikan dan kesehatan ambruk, dan ekonomi masyarakat berantakan.
Bangsa-bangsa Eropa, khususnya Portugis dan Belanda, melakukan kolonisasi, memperkenalkan agama Katolik dan Kristen, membentuk komunitas, membangun benteng pertahanan dan rumah ibadah. ”Kolonialisme tidak bisa diidentikkan dengan agama Kristen dan Katolik karena tindakan kolonial justru mereduksi nilai agama,” ujar Direktur Pusat Studi Mediasi dan Rekonsiliasi, Institut Agama Islam Negeri Ambon Abidin Wakano.
Namun, itu tidak mudah. Masyarakat yang semakin individualistis, pragmatis, dan materialistis serta kepentingan politik praktis, yang seringkali mereduksi nilai agama dan mengabaikan budaya, akan terus menggerogoti semangat persaudaraan.
Ale rasa beta rasa, potong di kuku rasa di daging, sagu salempeng dipata dua... Saling berbagi, menghargai, dan menyayangi dalam suka dan duka orang Maluku. (M ZAID WAHYUDI)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.