”Kami bisa makan dan hidup dari alam. Wisatawan datang ke sini menikmati alam dan memakai jasa kami. Kami harus menjaga kebersihan alam sekitar yang sudah menghidupi kami,” kata Stefan yang biasa disapa Papa Jo itu.
Menurut dia, permasalahan sampah di Labuan Bajo terkesan diabaikan. Ia menyoroti perilaku masyarakat yang belum peduli terhadap sampah.
”Wisatawan memang berdatangan ke kota kami, padahal sampah menumpuk di mana-mana. Masyarakat cenderung berpikir, dengan kondisi seperti ini saja turis tetap ada, kenapa kami harus repot mengumpulkan sampah,” kata dia.
Aksi mereka mengumpulkan sampah kemudian diikuti masyarakat sekitar pantai yang hidup sebagai nelayan. Sampah yang berserakan kebanyakan adalah sampah plastik. Tahun 2008, Stefan mencetuskan membuat bank sampah untuk menampung sampah yang terkumpul itu.
Sampah untuk solar
Bank sampah itu bernama ABN Komodo, singkatan dari Ananda Bersihkan Nusa Komodo. Ia belajar mengelola bank sampah dari Bank Sampah Gemah Ripah asuhan Bambang Suweno di Bantul, Yogyakarta.
Hingga tahun ini, sekitar 200 orang menjadi nasabahnya, sebagian besar nelayan. Sampah yang disetorkan oleh nelayan diganti dengan sejumlah uang. Ia mencontohkan, untuk 3 kilogram sampah plastik setara dengan uang guna membeli 1 liter solar sebagai modal melaut.
Bank sampah itu kemudian memilah sampah organik dan anorganik. Sampah organik tidak terlalu menimbulkan masalah karena bisa diolah menjadi kompos dan biogas. Adapun sampah anorganik, seperti plastik bungkus detergen, dipilah sesuai kualitasnya. Plastik yang kualitasnya masih bagus, ia jual ke pengolahan sampah di Surabaya sebulan sekali.
Namun, banyak juga sampah plastik yang tak laku dijual. Bungkus detergen yang telah lama terkena air laut, misalnya, tidak ada harganya. Sampah yang tak bernilai itu ”dipendam” dalam adonan semen sebagai pemberat tambat pelampung. Limbah rumah sakit, seperti jarum suntik, juga ikut dipendam di sini.
Plasticman Institute juga bekerja sama dengan sekolah dan kelompok pengajian di sekitar Labuan Bajo. Mereka memberikan pelatihan pemanfaatan sampah anorganik. Salah satu bentuknya adalah latihan keterampilan membuat bantal duduk yang isinya potongan sampah plastik. Para siswa juga diajarkan membuat pot hidroponik dari botol bekas air kemasan. ”Modalnya hanya gunting,” ujarnya.
Semua kegiatan itu dijalankan Stefan dengan senang hati. Bagaimana tidak, tujuh kamar di Hotel Bagus-Bagus miliknya menjadi jaminan pemenuhan nafkah keluarga, termasuk membiayai sekolah anaknya.
Hotel itu kini dijalankan sanak saudaranya. Dengan demikian, Stefan bisa fokus pada kegiatan bank sampah supaya wisatawan tetap berdatangan dan betah singgah di Labuan Bajo, gerbang menuju habitat komodo. (Herlambang Jaluardi)