Rakit itu ditarik oleh perahu nelayan bermesin tempel. Stefan berenang di belakang rakit seolah mendorongnya. Setelah menemukan lokasi yang tepat, mesin perahu dimatikan. Dua orang di atas rakit bersiap mencemplungkan bongkahan berbentuk kotak dan silinder seberat masing-masing 250 kilogram itu.
Keesokan harinya, Stefan menjelaskan, bongkahan itu tersusun atas sampah yang mereka kumpulkan di sekitar pantai ataupun yang ”disumbangkan” masyarakat. Komponen utama menggunakan kulkas dan tong bekas. Ruang di dalamnya diisi dengan sampah plastik, pecahan kaca, dan kaleng.
Sampah-sampah itu dicampur dengan semen sehingga kulkas dan tong bekas menjadi padat. Pada sisi luar kulkas dan tong ”ditanamkan” ban bekas, biasanya ban-ban bekas mobil. Setengah lingkaran ban itu berfungsi sebagai pengait tambang, juga penahan bongkahan agar tidak bergeser. Biasanya Stefan menanam tiga hingga empat ban pada sebuah bongkahan.
Bongkahan itu terhubung dengan pelampung bulat berwarna jingga melalui tali tambang di permukaan laut. Pada pelampung itu ada simpul tali untuk mengikat tali tambang perahu yang parkir.
”Jadi, fungsi bongkahan yang dibenamkan itu menggantikan peran jangkar,” kata Stefan.
Pelampung itu membatasi wilayah pantai yang boleh dimasuki perahu, terutama perahu besar berbobot di atas 30 ton. Lokasi sekitar pelampung itu merupakan tempat parkir bagi perahu. Nelayan sekitar pun bisa mendapat tambahan uang dari pelampung yang dipakai parkir perahu.
Mooring buoy hasil rekayasa Stefan itu merupakan penyempurnaan dari penambat pelampung yang dibuat oleh pemerintah. Sebelumnya, penambat itu dibuat dari tong plastik baru dan penahannya terbuat dari besi tajam, biasanya linggis.
Oleh karena banyak memakai bahan baru, penambat itu sering dicuri orang. Selain itu, linggis yang dipakai untuk menahan penambat agar tidak bergeser justru merusak terumbu karang.
Rangkaian penambat pelampung itu juga dilengkapi dengan dahan pohon palem beserta daunnya. Dahan itu diikatkan pada kedalaman sekitar 3 meter dari permukaan air. Susunan daun pada dahan itu, menurut Stefan, menjadi tempat berkumpulnya ikan kecil.
”Nelayan bisa memancing di sekitarnya. Kebetulan saya juga hobi memancing,” kata pria kelahiran Ruteng, Nusa Tenggara Timur, ini.
Dihidupi alam
Stefan bercerita, dia sedang menjalankan jargon 3R, reduce (mengurangi), reuse (memanfaatkan kembali), dan recycle (mendaur ulang) yang kerap didengungkan dalam hal pengelolaan sampah. Ia mendirikan Komodo Plasticman Institute sejak lima tahun lalu, bersama beberapa pemuda Labuan Bajo yang sama-sama bergerak pada bisnis jasa wisata.
Ide mengumpulkan sampah muncul saat Stefan dan kawan-kawan bersantai di beranda Hotel Paradise, di samping rumah Stefan. Setelah menikmati musik dan minuman yang menghangatkan tubuh, ia mencetuskan ide untuk turun langsung ke pantai memunguti sampah.
”Kami bisa makan dan hidup dari alam. Wisatawan datang ke sini menikmati alam dan memakai jasa kami. Kami harus menjaga kebersihan alam sekitar yang sudah menghidupi kami,” kata Stefan yang biasa disapa Papa Jo itu.
Menurut dia, permasalahan sampah di Labuan Bajo terkesan diabaikan. Ia menyoroti perilaku masyarakat yang belum peduli terhadap sampah.
”Wisatawan memang berdatangan ke kota kami, padahal sampah menumpuk di mana-mana. Masyarakat cenderung berpikir, dengan kondisi seperti ini saja turis tetap ada, kenapa kami harus repot mengumpulkan sampah,” kata dia.
Aksi mereka mengumpulkan sampah kemudian diikuti masyarakat sekitar pantai yang hidup sebagai nelayan. Sampah yang berserakan kebanyakan adalah sampah plastik. Tahun 2008, Stefan mencetuskan membuat bank sampah untuk menampung sampah yang terkumpul itu.
Sampah untuk solar
Bank sampah itu bernama ABN Komodo, singkatan dari Ananda Bersihkan Nusa Komodo. Ia belajar mengelola bank sampah dari Bank Sampah Gemah Ripah asuhan Bambang Suweno di Bantul, Yogyakarta.
Hingga tahun ini, sekitar 200 orang menjadi nasabahnya, sebagian besar nelayan. Sampah yang disetorkan oleh nelayan diganti dengan sejumlah uang. Ia mencontohkan, untuk 3 kilogram sampah plastik setara dengan uang guna membeli 1 liter solar sebagai modal melaut.
Namun, banyak juga sampah plastik yang tak laku dijual. Bungkus detergen yang telah lama terkena air laut, misalnya, tidak ada harganya. Sampah yang tak bernilai itu ”dipendam” dalam adonan semen sebagai pemberat tambat pelampung. Limbah rumah sakit, seperti jarum suntik, juga ikut dipendam di sini.
Plasticman Institute juga bekerja sama dengan sekolah dan kelompok pengajian di sekitar Labuan Bajo. Mereka memberikan pelatihan pemanfaatan sampah anorganik. Salah satu bentuknya adalah latihan keterampilan membuat bantal duduk yang isinya potongan sampah plastik. Para siswa juga diajarkan membuat pot hidroponik dari botol bekas air kemasan. ”Modalnya hanya gunting,” ujarnya.
Semua kegiatan itu dijalankan Stefan dengan senang hati. Bagaimana tidak, tujuh kamar di Hotel Bagus-Bagus miliknya menjadi jaminan pemenuhan nafkah keluarga, termasuk membiayai sekolah anaknya.
Hotel itu kini dijalankan sanak saudaranya. Dengan demikian, Stefan bisa fokus pada kegiatan bank sampah supaya wisatawan tetap berdatangan dan betah singgah di Labuan Bajo, gerbang menuju habitat komodo. (Herlambang Jaluardi)