Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Astuti dan Sariyah Kokoh dalam Tradisi

Kompas.com - 24/02/2014, 13:15 WIB
BERGULAT dengan tradisi sampai mati! Dua penari lengger banyumasan, Astuti (45) dan Sariyah (46), meski kini menemukan kenyataan pahit, keduanya tetap ”keras kepala” bergumul dengan tradisi. Itulah jalan hidup mereka.

Keduanya telah menjalani laku tirakatan sejak masa kecil. Tempaan kewajiban seperti puasa, mandi malam, tidur beralas daun pisang, makan singkong mentah berhari-hari, serta cuma makan nasi putih (mutih) selama berbulan-bulan membentuk batin dan sosok keduanya yang tahan cobaan hidup.

Kini kehidupan sehari-hari bisa jadi berbeda jauh dari gemerlap panggung pertunjukan. Rabu (19/2/2014), di Petilasan Panembahan Panggihsari, Desa Somakaton, Kecamatan Somagede, Banyumas, Jawa Tengah, keduanya menunjukkan bahwa tradisi itu menggeliat menyiasati hidup. Liukan tarian yang sederhana seperti mencerminkan kebersahajaan hidup para petani di desa itu.

Rombongan wartawan yang berangkat dari Jakarta dalam program Workshop Karya Tulis dan Fotografi bersama Sampoerna Kretek bergabung dengan puluhan wartawan setempat. Mereka seperti tak henti memberi perhatian kepada para penari lengger.

Apalagi saat pertunjukan yang dihadiri ratusan warga itu, turut menari maestro lengger lanang, Mbah Dariah (80-an), makin memperlihatkan bahwa menari bukan sekadar seni. Bagi Mbah Dariah, menari adalah bagian dari cara melakoni hidup. Rupanya jalan itu juga sedang dirunut penari lengger muda seperti Agus. Agus, yang memiliki nama panggung Agnes, adalah generasi terkini yang meneruskan tradisi lengger lanang. ”Setelah Mbah Dariah, praktis sekarang cuma Agus yang meneruskan tradisi lengger lanang, lengger yang ditarikan lelaki,” tutur peneliti lengger asal Purwokerto, Yusmanto.

Mengapa Anda bersedia menjalani laku yang berat pada usia muda dulu?

Astuti: Saya memang ingin menjadi penari lengger…

Apa yang ingin Anda gapai, waktu itu, dengan menjadi penari lengger?

Astuti: Saya ingin membantu kehidupan keluarga. Jadi lengger bisa cari uang. Saya mulai menari umur 6 tahun di Cilacap karena orangtua tinggal di sana.

Kalau dibandingkan, lebih keras mana laku tirakat itu atau persaingan yang kini terjadi dengan lengger kontemporer?

Astuti: Lebih keras dulu. Saya sampai hampir-hampir menyerah, terutama saat-saat tidak boleh makan nasi. Bayangin berhari-hari cuma dikasi makan singkong mentah…. Apalagi waktu itu, kan, masih gadis ingusan, ya. kepengen juga makan enak.

Mengapa Anda bertahan?

Astuti: Ya, itu tadi, tekad saya sudah kuat membantu kehidupan keluarga dengan menari.

Apakah itu kemudian tercapai?

Astuti: Di masa jaya lengger tahun-tahun 1980-an dan 1990-an, hidup kami cukup dari menari. Kan, bapak punya grup lengger bernama Kencana Laras. Kami bisa ndak pulang-pulang karena ditanggap berkeliling.

Apakah Mbak Sariyah juga mengalami hal yang sama?

Sariyah: Sekitar awal tahun 1990, saya jarang pulang karena berkeliling dengan jadwal pentas yang padat. Pada Januari sampai Agustus, bersama kelompok Winarna Rawalo, kami keliling dari Cilacap, Banyumas, Banjarnegara, hingga Wonosobo.

Ke mana lagi Anda pernah diundang untuk menari lengger?

Sariyah: Pernah dikontak secara pribadi ke Samarinda, Kalimantan Timur. Di sana saya diiringi grup musik setempat.

Sebelum ditahbiskan sebagai penari lengger, Sariyah juga menjalani laku yang sama kerasnya dengan Astuti. Seluruh persyaratan, seperti berpuasa dan lainnya, ia jalani dengan kesadaran memperoleh indang (wahyu) lengger. Biasanya di beberapa desa yang memiliki tradisi lengger, terdapat semacam petilasan, tempat menggelar ritus untuk meminta indang. Petilasan Panembahan Panggihsari di Desa Somakaton adalah salah satu dari beberapa petilasan yang ada.

Kalau lengger masa kini apakah melakukan laku tirakatan itu?

Sariyah: Penari-penari sekarang ndak ada lagi yang mau puasa, apalagi prihatin. Mereka hanya modal cantik dan bisa goyang, sudah cukup.

Bagaimana Anda bisa bersaing dengan mereka bergoyang?

Sariyah: Sekarang, kan, banyak lengger yang disatukan dengan organ tunggal terus nyanyi dangdut. Sejak tahun 2000-an karena tanggapan lengger makin sepi, saya membuka rias pengantin.

Astuti: Saya membuka warung kecil-kecilan di rumah untuk kebutuhan sehari-hari.

Seni rakyat ini kini sedang berada di tubir jurang. Ia seperti bagian dari masa lalu yang penuh keprihatinan hidup. Padahal di dalamnya penuh dengan filosofi yang mengajarkan kedisiplinan, laku pasrah, dan hidup sebagaimana adanya, tidak neko-neko. Sederhana seperti rakyat jelata. Bukankah itu yang sulit dijalani sekarang oleh manusia modern?

Budayawan Ahmad Tohari mengatakan, bisa saja lengger diperbarui dengan memasukkan unsur-unsur seni populer seperti organ tunggal dan dangdut. Namun, kata dia, laku hidup sederhana yang menguatkan kepribadian sebagai kaum rakyat harus tetap dipelihara. Itulah sumbangan terbesar seni rakyat dalam kehidupan bernegara sekarang ini. ”Begitu, kan?” kata penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk ini.

Astuti dan Sariyah, dua penari dari desa, yang kalau menari diantar motor menuju lokasi pentas, telah mengajarkan kesetiaan, kejujuran, dan laku prihatin yang akan mereka kukuhi sampai mati. (Putu Fajar Arcana dan Gregorius M Finesso)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com