Jejak kejayaan lurik masih membekas di rumah pengusaha lurik Raden Rachmad (81) di Pedan, Klaten, Jawa Tengah. Kertas-kertas pesanan lurik dari sejumlah negara berserakan di meja Toko Sumber Sandang milik pria yang dijuluki ”Begawan Lurik” itu.
Satu lembar memo berisi permintaan kain lurik dari Honolulu, Amerika Serikat, yang lainnya berasal dari Australia. Mereka menyertakan motif, warna, dan jumlah permintaan yang kebanyakan telah rutin dipesan untuk desain interior rumah.
Jika tak sanggup melayani, Rachmad meneruskan pesanan itu kepada tiga dari delapan anaknya yang kini turut menekuni lurik. Sayangnya, semangat Rachmad untuk terus berkarya tak lagi diimbangi kekuatan prima dari karyawan-karyawannya, buruh lurik.
Menelusup ke bagian belakang dari rumah Rachmad yang menyatu dengan toko, tampak hanya separuh dari 100-an tustel atau alat tenun bukan mesin (ATBM) yang beroperasi. Sisanya rusak atau ditinggal mati perajinnya.
Maklum, semua perajin sudah melampaui usia di atas separuh abad. Setua usia penghuninya, bengkel kerja itu pun mulai kusam tak terawat. Sinar matahari enggan menerobos masuk. Beberapa bagian atap bocor dengan rembesan air tertampung pada ember. ”Sehari masih bisa dapat 7-8 meter lurik, dibayar Rp 3.000 per meter,” kata seorang pekerja, Painem (70), buruh lurik sejak remaja.
Seperti buruh lurik lainnya, Painem hanya membuat lurik ketika pekerjaan di sawah sudah selesai. Jika tiba masa tanam atau panen, mereka memilih bekerja sebagai buruh tani. ”Lurik jadi sambilan daripada menganggur,” tambah Painem.
Industri lurik makin tergerus pada Orde Baru ketika pabrik tekstil dan konglomerasi bermunculan. ”Dulu, saya bisa untung 100-120 persen, sekarang paling banyak 30 persen,” tambah Rachmad yang memulai usahanya pada 1960.
Telanjur jatuh cinta pada lurik, Rachmad terus bertahan. Ia sempat beralih profesi sebagai penjual nasi dan berdagang telur, tapi kembali pada lurik. ”Mengelus dada lihat nasib lurik. Enggak bisa tinggal diam,” tambahnya.
Jika hingga kini Rachmad tetap bertahan, itu karena pasar masih meminati lurik buatannya. Ia berkreasi memakai bahan baku benang katun atau sutra kualitas baik yang sesekali dipadukan dengan serat alami.
Kreativitas
Kreativitas juga menjadi kunci pertahanan bagi Kurnia Lurik di Krapyak Wetan, Bantul, DI Yogyakarta. Ketika pengusaha-pengusaha lurik gulung tikar dan hanya menyisakan sepuluh pengusaha di DIY, Kurnia Lurik bertahan sejak didirikan Dibyo Sumarto (almarhum) pada tahun 1962.
Dengan 50 pekerja yang mayoritas lanjut usia, Kurnia Lurik stabil memproduksi 4.500 meter lurik per bulan. Produksi pakaian adat atau surjan bagi abdi dalem keraton tetap digenjot. Namun, pakem klasik ini telah berkembang sesuai tren warna dan penataan garisnya pun makin abstrak.
Motif klasik hujan liris warna hitam putih yang biasa digunakan oleh raja Yogyakarta, misalnya, diproduksi bervariasi dengan warna mulai hijau toska, maron pelangi, atau ungu muda. Setiap bulan selalu ada motif baru yang dirilis.
Pada masa sulit, era 1980-an, produksi terdongkrak bagi pemenuhan kebutuhan seragam sekolah. Permintaan antara lain masih berdatangan dari sekolah swasta, seperti Tarakanita dan Tugu Ibu. Lurik unggul sebagai seragam karena bahannya tebal, kuat, dan awet.
Sejak tahun 2000, Kurnia Lurik mengusung fashion lurik sebagai pakaian sehari-hari. Pengembangan lurik juga mengarah pada pembuatan kerajinan tangan seperti tas, dompet, dan perlengkapan interior dengan melibatkan warga di sekitar rumah produksi lurik.
”Lulus kuliah, awalnya saya enggak pengin kerja di sini. Tapi, eman-eman kalau enggak diteruskan. Selagi pakaian masih berbahan kain, ada kesempatan lurik dilirik,” ujar Jussy Rizal (27), cucu Dibyo yang kini mengelola Kurnia Lurik bersama keluarganya.
Ia sempat menjadi juragan tenun ketika membuka pabrik tenun dengan tenun buatan tangan di Yogyakarta pada 1984. Pabrik itu dilengkapi dengan laboratorium pewarnaan hingga komputerisasi desain.
Sempat gulung tikar karena gempa dan kebakaran, Jadin hingga kini masih memproduksi tenun meski dalam skala kecil. Terobosan menarik yang tetap dipertahankannya adalah memadukan benang katun impor dengan sutra ataupun serat alami dari daun nanas serta rami.
”Saya heran, Indonesia kaya serat luar biasa. Lebih dari 98 persen kapas kebutuhan industri masih impor. Kita punya banyak alternatif. Enggak ada yang olah. Enak bermain dengan mafia kapas dibandingkan bermain dengan alternatif,” kata Jadin.
Rami, misalnya, sangat mudah dikembangkan. Karakteristik, daya serap, dan daya sentuhnya mendekati kapas. Setelah menjadi kain, rami juga unik karena mampu memunculkan efek warna etnik yang berbeda jika dibanding sekadar menggunakan kapas impor.
Karakter lurik
Lurik tak ubahnya artefak yang merekam semangat dan selera zaman, yang memang tumbuh dari kalangan jelata. Seperti yang dikatakan Kepala Institut Javanologi, Universitas Sebelas Maret, Sahid Teguh Widodo, lurik merupakan bagian dari kekuatan masyarakat agraris. Oleh karena itu, karakter kesederhanaan melekat erat dalam identitas lurik. Dibandingkan dengan tenun Indonesia lainnya pun, lurik merupakan jenis tenun yang proses pembuatannya paling sederhana karena coraknya hanya terdiri dari garis.
”Lurik itu milik kita yang betul-betul dari bawah dan sampai sekarang hidup dan menghidupi para perajin dan masyarakat di sekitar Yogya dan Solo,” kata Sahid.
Bertahannya lurik melintasi pergantian zaman tak lain karena kehadirannya terhubung erat dengan daur kehidupan manusia Jawa pada umumnya. Sebagai contoh, sejak usia tujuh bulan di dalam kandungan, lurik motif tumbar pecah menjadi sarana doa agar bayi lahir selamat. Lurik motif tuluh watu yang dipahat dalam Prasasti Raja Airlangga berangka tahun 1033, misalnya, masih dipakai anak-anak dalam upacara ruwatan penolak roh jahat.
Namun, sejumlah alasan, antara lain kehadiran mesin dan kapitalisasi, menggilas pamor lurik di era modern. Sampai kemudian sejumlah pihak, di antaranya mereka yang bergiat di industri mode, berupaya mengangkat kembali kepopuleran lurik sebagai bahan baku fashion serta desain interior.
Manajer Produksi dan Quality Control CTI Sjamsidar Isa menegaskan perlunya perlindungan dan campur tangan pemerintah demi pelestarian kain tradisional.
Kesejahteraan perajin bisa didongkrak dengan imbauan pemakaian lurik hasil produksi perajin. Demi regenerasi, pemerintah harus memasukkan pendidikan lurik ke dalam muatan lokal. Pemerintah juga harus mempermudah akses, ketersediaan bahan baku, hingga pemasaran.
”Perlu strategi komplementer agar perajin tidak ditarungkan dengan pabrik tekstil,” kata Sahid.
Inilah saatnya untuk bergerak menyelamatkan lurik. Kain unik yang mewarnai perjalanan peradaban bangsa ini. (Mawar Kusuma dan Myrna Ratna)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.