Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wisata Borobudur "Rasa" Kelud

Kompas.com - 01/03/2014, 11:32 WIB
"Kami datang untuk melihat dampak abu vulkanik Kelud di Borobudur. Kalau pun hanya diperbolehkan masuk di sekitar zona I, kami tidak kecewa". Itulah ungkapan salah seorang anggota keluarga besar LKBN Antara Biro Jawa Timur ketika mengitari kawasan candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah dari berbagai sudut, Sabtu (22/2/2014).

Candi Borobudur yang dibangun sekitar 824 M pada masa Kerajaan Syailendra itu sudah dua kali terdampak abu vulkanik dalam lima tahun terakhir yakni abu Merapi (2010) dan abu Kelud (2014).

Bahkan, abu vulkanik akibat letusan Gunung Kelud pada Kamis (13/2/2014) pukul 22.50 WIB itu masih terasa lengket di bebatuan candi Buddha yang juga merupakan situs warisan dunia itu.

"Itu justru wisata bersejarah, karena kami bisa melakukan foto saat pembersihan Borobudur. Belum tentu ada abu vulkanik di Borobudur pada setiap tahun lho. Kayak wisata Borobudur 'rasa' Kelud," ucapnya, tersenyum.

Hingga "wisata bersejarah" pada Sabtu (22/2/2014) pukul 08.30 WIB itu, proses pembersihan Candi Borobudur memang sudah mencapai 80 persen, namun jejak abu masih jelas terlihat.

Bahkan, jalanan dari tanah yang menuju loket tiket masuk pun masih dibersihkan dengan sekop oleh 4-5 orang petugas. "Ini sudah tidak seberapa," tutur seorang petugas sambil menunjuk bekas galian.

Namun, koordinator Pemanfaatan dan Layanan Masyarakat Balai Konservasi Borobudur, Pangga Ardiansyah mengaku pihaknya tetap bersyukur atas musibah yang dialami.

"Kami bersyukur, karena kedatangan wisatawan tidak terlalu terpengaruh dengan abu vulkanik, meski Borobudur sempat ditutup dalam beberapa hari, namun para wisatawan yang kecewa umumnya dapat memaklumi dan justru membantu kami untuk bersih-bersih," katanya.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO Wisatawan asing melintas di depan pagar Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Jumat (14/2/2014). Objek wisata tersebut ditutup akibat guyuran abu vulkanik dari letusan Gunung Kelud pada Kamis lalu sekitar pukul 23.00. Letusan gunung membuat beberapa daerah tertimpa hujan kerikil dan abu vulkanik.
Hal itu dibenarkan seorang relawan asal Desa Urutsewu, Boyolali, Yushak, yang datang bersama sekitar 150-an warga dengan membawa peralatan seadanya, seperti sapu, alat keruk, dan sebagainya.

"Ini sudah panggilan hati, apalagi kami dari umat Buddha, sehingga kami pun merasa memiliki Borobudur," katanya.

Bahkan, ungkapnya, pihak Walubi Jawa Tengah memang menggilir umat Buddha dari kawasan Borobudur dan sekitarnya untuk membersihkan candi yang sangat mendunia itu.

"Sebelum kami, ada umat Buddha dari Purwokerto dan Wonosobo yang membersihkan, tapi sekarang dari Boyolali sebanyak tiga bus. Kami datang secara sukarela, karena terpanggil itu," ulasnya.

Teknis Pembersihan

Menurut Pangga Ardiansyah, pembersihan Candi Borobudur dalam setiap hari melibatkan 200-300 relawan. Mereka berasal dari kalangan umat Buddha, karyawan hotel, pemandu wisata, pedagang asongan, pelajar, dan para turis.

"Bahkan, tidak hanya melibatkan orang Jawa Tengah, tapi paling jauh ada yang datang dari Surabaya, juga ada beberapa turis Korea yang mengikuti Kemah Budaya Internasional pun ikut," paparnya.

Secara teknis, pembersihan tinggal 2-3 hari lagi, sehingga pembersihan kering dengan sapu dan pembersihan basah dengan semprotan air sudah bisa dianggap selesai.

"Jadi, tinggal tahap akhir yang akan kami lakukan sendiri, karena prosesnya lebih internal," katanya.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO Suasana pembersihan abu vulkanik dari letusan Gunung Kelud di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, mulai dilakukan, Senin (17/2/2014). Candi tersebut masih ditutup sementara bagi pengunjung selama proses pembersihan.
Tahap akhir yang internal adalah pembersihan sistem drainase di bawah pelataran Borobudur yang mungkin perlu dikeruk dan dibersihkan dari kubangan abu dan pasir halus yang merupakan sisa-sisa dari proses pembersihan kering dan basah sebelumnya.

Meski pembersihan oleh relawan dihentikan pada Selasa (25/2/2014), namun relawan yang datang ke Borobudur akan tetap diterima dan bila jumlahnya besar akan dialihkan ke candi lain di Yogyakarta yang proses pembersihannya belum maksimal.

Selain relawan yang terus berdatangan, wisatawan yang datang pada libur akhir pekan (Sabtu dan Minggu) juga tetap ribuan.

"Kalau hari normal, setiap akhir pekan selalu ada 5.000-10.000 pengunjung yang datang ke Borobubur dan pada hari-hari biasa berjumlah 2.000-an pengunjung," kata Pangga.

Memang, selang 10 hari pasca erupsi Kelud, wisatawan asing pun masih banyak yang datang, di antaranya dari Italia, Rusia, China, dan sebagainya.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO Pembersihan debu vulkanik dari letusan Gunung Kelud di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, mulai dilakukan, Senin (17/2/2014). Candi tersebut masih ditutup bagi pengunjung selama proses pembersihan berlangsung.
"Karena itu, rekan-rekan kami secara bertahap berpartisipasi untuk membersihkan Candi Borobudur, karena kami ingin mempercepat proses pembersihan salah satu keajaiban dunia itu," timpal relawan dari Hotel Grand Artos Magelang, Arky.

Perempuan Kristiani itu mengaku dirinya datang bersama 41 karyawan hotel itu pada Sabtu itu. "Kami tidak melihat agama, tapi kami peduli pada candi kebanggaan Indonesia," tegasnya.

Baginya, Indonesia adalah Negara Pancasila yang menghormati agama-agama yang ada secara adil, sehingga kepedulian dirinya pada salah satu keajaiban dunia itu tidak bisa dilihat sebatas agama. "Borobudur itu kan salah satu keajaiban dunia, karena itu kami peduli agar dunia tidak kecewa," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com