Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ukat Mulyana, "Robot" Sisingaan dari Cimaung

Kompas.com - 06/08/2014, 16:07 WIB
DALAM bahasa Indonesia, maung (Sunda) adalah harimau atau singa. Karena dulunya banyak maung, sebuah kampung di kawasan hutan perbukitan lereng timur laut Gunung Tangkubanparahu, Kabupaten Subang, Jawa Barat, disebut Ci Maung. Beratus tahun kemudian, Cimaung melahirkan seorang suhu seni tradisi sisingaan, dialah Ukat Mulyana (74).

Ketika ditanya tanggal lahirnya, Ukat Mulyana, seniman sisingaan khas rakyat Subang itu, mengerutkan dahi. ”Yang saya ingat tahunnya 1940, eta teh saur pun biang (itu pun kata ibu). Namun, dalam kartu tanda penduduk tertulis lahir 1949, ha-ha-ha....” KTP dibuat untuk keperluan pembuatan paspornya.

Tahun 1981 Ukat yang kemudian terkenal dengan julukan ”Mang Robot” harus menggelar seni sisingaan di Hongkong karena kelompok sisingaan dari Lingkung Seni Setiawargi, asuhannya, lulus seleksi nasional. Setelah itu, grup seni sisingaan asal Kampung Cimaung, Desa Tambakmekar, Subang itu, manggung di Beijing, Tiongkok, dan Seoul, Korea Selatan.

Sebelumnya, Ukat juga sering membawa Lingkung Seni Setiawargi berkeliling ke kota-kota di dalam negeri, mulai dari kota di Pulau Jawa hingga Banda Aceh. Julukan Mang Robot diberikan warga kepada Ukat muda karena keahliannya menabuh kendang pencak secara terus-menerus selama berjam-jam.

Warga menyebut dia sebagai penabuh nu euweuh kacape atau orang yang tidak kenal lelah seperti robot. Tabuhan kendang pencak silat itu merupakan infrastruktur musik pengiring kesenian sisingaan.

Di sela-sela waktu senggangnya, Ukat muda juga tidak kenal lelah berkeliling ke kampung-kampung di Subang untuk menyebarkan keahliannya, ngamuridkeun, yakni melatih seni sisingaan kepada para pemuda desa secara sukarela.

Maka, lengkaplah julukan Mang Robot kepada guru sisingaan, Ukat Mulyana. Saat ini dia sudah membina 17 lingkung seni sisingaan di seantero Subang. Satu lingkung seni biasanya memiliki 25-40 personel, yang bertugas mulai dari penabuh kendang, pengiring, hingga pemikul patung sisingaan.

Oleh para pegiat lingkung seni sisingaan ini, disebarkan lagi kepada generasi berikutnya seiring dengan tumbuhnya minat mereka terhadap seni leluhurnya itu.

Otodidak

Awalnya, keahlian Ukat menabuh kendang, khususnya untuk pencak silat, ketik tilu, kemudian jaipongan, diperoleh dari pamannya yang sudah lebih dulu menekuni seni sisingaan. Karena minat dan bakatnya sudah terlihat sejak kecil, Ukat terbilang mulus menerima estafet pelestarian seni sisingaan di lingkungan keluarganya.

Dalam waktu relatif singkat, Ukat muda mampu memimpin sebuah lingkung seni. Pengembangan seni sisingaan biasa dilakukan secara otodidak karena pada zaman Ukat muda belum ada sekolah seni formal.

”Maklum (kami tinggal) di pedesaan. Sekolah pun saat itu hanya SR (sekolah rakyat) atau SD. Untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, kami harus ke Subang,” kenang Ukat.

Selepas SR, dia menekuni seni tradisi karena tak mampu meneruskan sekolah di Subang yang terletak 12 kilometer dari Desa Tambakmekar.

Penderitaan keluarga Ukat tak bisa dilepaskan dari rangkaian kehidupan yang panjang dari rakyat Subang pada umumnya sejak zaman Kolonial Belanda. Menurut catatan sejarah Subang, sekitar tahun 1800 wilayah Subang yang merupakan daerah perkebunan subur dikuasai Belanda dan Inggris dengan perusahaan P&T Lands.

Kala itu, dua dimensi kekuasaan yang eksploitatif mendera rakyat Subang. Secara politis, wilayah Subang diperintah Belanda, tetapi secara ekonomi, berada di bawah kekuasaan pengusaha P&T Lands. Akibatnya, ribuan rakyat Subang, termasuk leluhur Ukat, menderita karena sumber-sumber kehidupannya terkuras kolaborasi pengusaha dan penguasa.

Sekelompok seniman waktu itu melakukan perlawanan dengan membuat sisingaan atau singa-singaan. Harimau atau singa digambarkan sebagai binatang buas dan jahat. Maka, mereka membuat dua boneka sisingaan yang melambangkan Singa Belanda dan Singa Inggris.

Dalam setiap pergelaran, kedua patung singa itu ditumpangi anak-anak. Simbolisasi ini merupakan pesan bahwa generasi yang akan datang harus mampu ”menunggangi singa-singa” itu, tidak sebaliknya seperti para orangtua mereka. Oleh karena itu, hingga kini dalam setiap pergelaran sisingaan selalu ditampilkan dua patung singa yang ditumpangi anak-anak.

Berkembang

Tahun 1978 grup sisingaan Setiawargi tampil memukau di Balai Sidang Jakarta. Kelompok seni rakyat itu berhasil keluar sebagai juara nasional setelah mengalahkan seni-seni tradisi yang dipentaskan oleh 27 utusan provinsi dari seluruh Indonesia. Sejak itu Ukat juga mendapatkan surat keputusan (SK) dari Mendikbud sebagai pegiat kesenian rakyat.

Di Kabupaten Subang, sisingaan tumbuh dan berkembang karena apresiasi masyarakat masih tinggi. Seni ini biasanya ditanggap (diundang) oleh keluarga yang menyelenggarakan hajat khitanan untuk anak-anaknya.

”Kalau anak dikhitan, rasanya kurang sempurna hajatannya apabila tidak nanggap sisingaan,” ujar Teguh Meinanda (56), tokoh masyarakat Desa Tambakmekar.

Oleh karena itulah pada musim khitanan, biasanya pada bulan Islam, Rayagung (Zulhijah) dan Maulud, grup-grup sisingaan Subang sedang marema atau banyak undangan. Di samping hari-hari besar kenegaraan, setiap minggu pada musim ramai itu Lingkung Seni Setiawargi bisa tampil dua kali di tempat berbeda.

Ukat biasanya membawa 25 personel, mulai dari tukang pikul dua patung sisingaan hingga tukang kendang dan tukang ngibing atau pencak. Sebelum dikhitan, biasanya anak itu menunggang patung sisingaan yang dipikul empat orang berkeliling kampung. Keempat orang itu juga ikut berjoget seirama mengikuti ketukan kendang.

Di belakang mereka, puluhan orang sekampung ikut berjoget sambil berjalan beriringan, mengikuti irama kendang dan musik pengiring yang dikeraskan lewat sound system. Iring-iringan sisingaan itu bak pesta rakyat, beriringan di pinggir jalan-jalan perkampungan atau jalan raya.

Sekali tampil, setiap anak buahnya rata-rata mendapat honor Rp 100.000. Sebagai pimpinan rombongan, Ukat mendapat tiga kali lipatnya ditambah sewa sound system Rp 800.000. Tarif undangan sisingaan rata-rata Rp 3 juta-Rp 3,5 juta.

”Adakalanya (kami) dibayar lebih, tetapi ada juga yang kurang dari itu. Kami biasanya maklum saja jika kekurangannya dibayar cap nuhun,” seloroh Ukat.

Kekurangan bayaran itu akan sirna oleh keharuan yang tak ternilai setelah Ukat melihat keluarga yang punya hajat bahagia dan bangga bisa menggelar sisingaan. (Dedi Muhtadi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Turis Asing Diduga Bikin Sekte Sesat di Bali, Sandiaga: Sedang Ditelusuri

Turis Asing Diduga Bikin Sekte Sesat di Bali, Sandiaga: Sedang Ditelusuri

Travel Update
Ada Pembangunan Eskalator di Stasiun Pasar Senen, Penumpang Bisa Berangkat dari Stasiun Jatinegara

Ada Pembangunan Eskalator di Stasiun Pasar Senen, Penumpang Bisa Berangkat dari Stasiun Jatinegara

Travel Update
Hotel Ibis Styles Serpong BSD CIty Resmi Dibuka di Tangerang

Hotel Ibis Styles Serpong BSD CIty Resmi Dibuka di Tangerang

Hotel Story
10 Mal di Thailand untuk Belanja dan Hindari Cuaca Panas

10 Mal di Thailand untuk Belanja dan Hindari Cuaca Panas

Jalan Jalan
Menparekraf Susun Peta Wisata Berbasis Storytelling di Yogyakarta, Solo, dan Semarang

Menparekraf Susun Peta Wisata Berbasis Storytelling di Yogyakarta, Solo, dan Semarang

Travel Update
Waisak 2024, Menparekraf Targetkan Gaet hingga 300.000 Wisatawan

Waisak 2024, Menparekraf Targetkan Gaet hingga 300.000 Wisatawan

Travel Update
3 Bulan Lagi, Penerbangan Langsung Thailand-Yogyakarta Akan Dibuka

3 Bulan Lagi, Penerbangan Langsung Thailand-Yogyakarta Akan Dibuka

Travel Update
Jelang Waisak 2024, Okupansi Hotel di Area Borobudur Terisi Penuh

Jelang Waisak 2024, Okupansi Hotel di Area Borobudur Terisi Penuh

Hotel Story
iMuseum IMERI FKUI Terima Kunjungan Individu dengan Pemandu

iMuseum IMERI FKUI Terima Kunjungan Individu dengan Pemandu

Travel Update
9 Wisata Malam di Jakarta, dari Taman hingga Aquarium

9 Wisata Malam di Jakarta, dari Taman hingga Aquarium

Jalan Jalan
Jangan Sembarangan Ambil Pasir di Pulau Sardinia, Ini Alasannya

Jangan Sembarangan Ambil Pasir di Pulau Sardinia, Ini Alasannya

Travel Update
6 Cara Cegah Kehilangan Koper di Bandara, Simak Sebelum Naik Pesawat

6 Cara Cegah Kehilangan Koper di Bandara, Simak Sebelum Naik Pesawat

Travel Tips
Maskapai Penerbangan di Australia Didenda Rp 1,1 Miliar karena Penerbangan Hantu

Maskapai Penerbangan di Australia Didenda Rp 1,1 Miliar karena Penerbangan Hantu

Travel Update
China Terapkan Bebas Visa untuk 11 Negara di Eropa dan Malaysia

China Terapkan Bebas Visa untuk 11 Negara di Eropa dan Malaysia

Travel Update
Pelepasan 40 Bhikku Thudong untuk Waisak 2024 Digelar di TMII

Pelepasan 40 Bhikku Thudong untuk Waisak 2024 Digelar di TMII

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com