Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 13/08/2014, 19:12 WIB
EditorI Made Asdhiana
GIANYAR, KOMPAS.com - Perkampungan seniman Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali kini telah dikenal masyarakat internasional yang mampu memberikan anugerah dan berkah bagi kehidupan dan kesejahteraan kepada masyarakat setempat. Hal itu berawal dari puluhan seniman Peliatan, Batuan, dan Ubud secara tidak sengaja melakukan interaksi seni rupa antara timur barat yang merebak sekitar tahun 1920-an.

"Tidak ada unsur menggurui puluhan seniman dari ketiga desa itu berinteraksi dengan Barat melalui seniman Walter Spies (1893-1942) dan Bonnet (1895-1978), seniman warga negara asing yang bermukim di Ubud," tutur pendiri dan pengelola Museum Arma di perkampungan seniman Ubud, Anak Agung Gede Rai, akhir pekan lalu.

Walter Spies, seniman warga negara Jerman yang mengkritisi karya seniman lokal, membuka diri untuk kerja sama teknik, pengetahuan baru tanpa ada kesan saling menggurui.

Proses penggarapan karya seni itu berlanjut terhadap penyeleggaraan pameran lukisan di sejumlah kota di belahan dunia pada zaman penjajahan Belanda. Demikian pula keberadaan Walter Spies, warga negara Belanda melahirkan sumber inspirasi bagi seniman Bali dalam hal mengolah kekayaan alam, sinar matahari Bali, menjadi energi yang hidup.

KOMPAS.com/Ni Luh Made Pertiwi F. Museum Puri Lukisan, Ubud, Gianyar, Bali.
Pria kelahiran Peliatan Ubud (60) yang baru saja meluncurkan buku berjudul "Gung Rai: Kisah Sebuah Museum" itu menjelaskan, dengan demikian keindahan dan kecantikan alam Bali semakin mengemuka dalam kanvas.

Ubud yang kini dikenal sebagai desa internasional tempat bertemunya bangsa dari berbagai negara di belahan dunia itu tahun 1920-an telah mengembangkan satu motif wayang baru, di mana pakem ikonografis wayang yang demikian ketat mengurai ke pakem personal. Tema tetap diangkat dari Kisah Ramayana, Mahabrata, namun dalam konsepsi seni ritual seperti rerajahan, tumbal tetap dipertahankan.

Lukisan corak wayang baru itu dirintis oleh Tjokorda Oka Gambir dari Puri Peliatan setelah belajar gambar di Banjarangkan (Klungkung) dan Ketewel (Gianyar). Teknik, warna alam, dan prinsip-prinsip seni lukis Wayang tetap dipegang teguh.

Motif wayang yang dirintis oleh Tjokorda Oka Gambir lebih realistis dengan garis arsiran rapi dan mantap, namun tetap memakai warna alam seperti gambar wayang menghias busana pura dan atribut ritual lainnya seperti parba, tedung, kober dan jempana.

Tjokorda Gambir sempat bagi pengalaman dan pandangan dengan Walter Spies dan Bonnet bahkan sebelum lembaga Pita Maha (1936) dibentuk, sejumlah seniman setempat seperti Baret, Kobot, Turas, Ida Bagus Made dan Gerudug sempat saling belajar di Puri Peliatan.

KOMPAS/AYU SULISTYOWATI I Nyoman Jendra (49), pelukis asal Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, tengah sibuk menyelesaikan lukisannya di ruang pamernya, Rabu (11/12/2013). Ia salah satu pelukis yang setia mengembangkan seni lukis di Ubud yang dipengaruhi pelukis besar Walter Spies, Rudolf Bonnet, dan I Gusti Nyoman Lempad di era tahun 1930-an.
Agung Rai yang museumnya memiliki koleksi 248 lukisan itu menjelaskan, tumbuh variasi corak personal pada generasi 1980-an di Ubud sangat dipengaruhi oleh kegeniusan I Gusti Made Lempad (alm) mengolah ilham seni pahat relief Yeh Pulu, yang mengalir lewat jari-jari ke kesan garis tinta Tiongkok yang kuat, sederhana terkesan kosong namun padat berenergi.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman:
Sumber Antara
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Turis Asing Berulah Lagi di Bali, Menparekraf Imbau Pengawasan Semua Pihak

Turis Asing Berulah Lagi di Bali, Menparekraf Imbau Pengawasan Semua Pihak

Travel Update
Kursi KA Ekonomi Masih Tegak per Akhir Mei 2023, Kapan Kursi Baru Dipakai?

Kursi KA Ekonomi Masih Tegak per Akhir Mei 2023, Kapan Kursi Baru Dipakai?

Travel Update
Jelang Libur Long Weekend, Tiket Kereta Api Mulai Banyak Dipesan

Jelang Libur Long Weekend, Tiket Kereta Api Mulai Banyak Dipesan

Travel Update
[POPULER TRAVEL] Masa Berlaku Paspor 6 bulan | Big Bad Wolf 2023

[POPULER TRAVEL] Masa Berlaku Paspor 6 bulan | Big Bad Wolf 2023

Travel Update
Krakatau Park, Taman Hiburan Baru di Lampung Lengkap Dengan 21 Wahana

Krakatau Park, Taman Hiburan Baru di Lampung Lengkap Dengan 21 Wahana

Jalan Jalan
Naik KRL ke ICE BSD Bisa Lanjut Shuttle Bus Gratis, Catat Langkahnya

Naik KRL ke ICE BSD Bisa Lanjut Shuttle Bus Gratis, Catat Langkahnya

Travel Tips
Panduan Lengkap ke Museum Multatuli di Rangkasbitung

Panduan Lengkap ke Museum Multatuli di Rangkasbitung

Travel Tips
Desa Wisata Hargotirto, Punya Spot Terbaik Lihat Perbukitan Menoreh

Desa Wisata Hargotirto, Punya Spot Terbaik Lihat Perbukitan Menoreh

Jalan Jalan
Kampoeng Ketandan Yogyakarta Jadi Bagian dari Wisata Jalan Kaki

Kampoeng Ketandan Yogyakarta Jadi Bagian dari Wisata Jalan Kaki

Jalan Jalan
Cara ke Animalium BRIN Naik Kereta dan Kendaraan Pribadi

Cara ke Animalium BRIN Naik Kereta dan Kendaraan Pribadi

Travel Tips
Maskapai Vietjet Air Buka Penerbangan ke Jakarta Mulai 5 Agustus 2023

Maskapai Vietjet Air Buka Penerbangan ke Jakarta Mulai 5 Agustus 2023

Travel Update
5 Tips Berkunjung ke Big Bad Wolf, Bawa Kantong Sendiri

5 Tips Berkunjung ke Big Bad Wolf, Bawa Kantong Sendiri

Travel Tips
10 Tempat Liburan di Lembang Ramah Anak, Bisa Main Sambil Belajar

10 Tempat Liburan di Lembang Ramah Anak, Bisa Main Sambil Belajar

Jalan Jalan
Perpustakaan Unik di Tangerang OMAH Library, Banyak Dikunjungi Tamu Asing

Perpustakaan Unik di Tangerang OMAH Library, Banyak Dikunjungi Tamu Asing

Jalan Jalan
Museum Multatuli Rangkasbitung, Museum Anti Kolonialisme Pertama di Indonesia

Museum Multatuli Rangkasbitung, Museum Anti Kolonialisme Pertama di Indonesia

Jalan Jalan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+