Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merawat Penyu di Samas

Kompas.com - 21/10/2014, 19:52 WIB
WAJAH Rujito (53) terlihat cerah saat mengamati tukik-tukik hitam yang berenang di sebuah kolam berukuran 6 meter x 1,5 meter. Sesekali tangannya dicelupkan ke kolam, lalu mengambil beberapa tukik untuk diamati lebih teliti. ”Syukurlah semua sehat. Tadi pagi saya kasih makan ikan yang dicacah, jadi ini sebagian sedang tidur kekenyangan,” katanya.

Jumat (22/8/2014) siang itu, Rujito sedang menjalankan aktivitas rutinnya merawat tukik alias anak penyu di sebuah kolam konservasi di pinggir Pantai Samas, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di dekat kolam itu terdapat kolam lain berukuran 4,5 meter x 1 meter yang disekat menjadi tiga bagian.

”Dua kolam ini baru selesai dibangun karena kolam konservasi yang lama rusak terkena abrasi,” kata lelaki yang tinggal di pesisir Pantai Samas itu.

Merawat penyu adalah aktivitas rutin yang dilakoni Rujito sejak tahun 2000. Itu dilakukan karena Pantai Samas kerap disinggahi sejumlah penyu untuk bertelur. Pantai yang terletak di Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Bantul, itu merupakan habitat penyu karena memiliki hamparan pasir luas.

Di Samas juga ada sejumlah vegetasi yang disukai penyu, misalnya pandan, rumput, dan kacang-kacangan. Ada empat jenis penyu yang biasa bertelur di pantai itu, yakni penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), dan penyu hijau (Chelonia mydas).

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya menggolongkan penyu sebagai hewan yang dilindungi. Mereka yang memperjualbelikan hewan itu terancam penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta. Akan tetapi, penegakan aturan itu masih lemah karena penjualan telur, daging, atau cangkang penyu terus terjadi.

Usaha konservasi penyu di Pantai Samas dipelopori Rujito bersama sejumlah nelayan yang tergabung dalam Forum Konservasi Penyu Bantul (FKPB). Mereka juga mendapat dukungan dari beberapa komunitas pencinta lingkungan dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta. Pada 2003, FKPB yang diketuai Rujito beserta BKSDA Yogyakarta dan sejumlah lembaga lain mendirikan tempat konservasi penyu di pinggir Pantai Samas.

Tempat itu, antara lain, terdiri dari sumur pasir buatan dan kolam pemeliharaan penyu. Para nelayan juga mendapat pelatihan cara memelihara penyu, baik saat penetasan telur maupun perawatan dari BKSDA Yogyakarta. ”Padahal, sampai 1990-an, nelayan di Samas kerap memburu penyu untuk dijual daging dan telurnya,” ujar Rujito.

Rujito dulu juga pemburu penyu. Saat tak melaut, dia bersama teman-temannya sering nongkrong di pinggir laut, menunggu penyu yang naik ke pantai untuk bertelur. ”Biasanya kami tangkap penyu setelah bertelur. Dagingnya kami ambil, kepalanya kami buang lagi ke laut,” tuturnya. Kesadaran Rujito baru berubah ketika dia diajak berdiskusi dengan sejumlah pihak, termasuk peneliti penyu dari sebuah universitas terkemuka di Yogyakarta.

Selain untuk melestarikan penyu, kolam konservasi di Pantai Samas juga dikelola menjadi obyek wisata dan tempat pendidikan bagi banyak pihak. Para turis domestik dan asing sering berkunjung ke sana mengamati perilaku penyu. Mahasiswa dan pelajar dari sejumlah wilayah di DIY juga kerap belajar soal kehidupan penyu di Samas. Beberapa tahun terakhir, pelepasliaran tukik di Pantai Samas menjadi atraksi yang menarik minat banyak orang.

”Sejak 2001, sudah sekitar 4.000 penyu yang dipelihara lalu dilepasliarkan di pantai ini,” ujar Rujito.

Dirusak abrasi

Sayangnya, pada 2013, tempat konservasi penyu di Pantai Samas rusak karena abrasi atau terkikisnya daratan pantai akibat terjangan gelombang air laut. Beberapa hari sebelum kolam konservasi itu hancur, menurut pegiat Komunitas Reispirasi, Deny Widyanto, pihaknya sempat memindahkan tukik- tukik ke lokasi lain. Tidak lama kemudian, tukik dilepas ke pantai. ”Meski lega tukik-tukik itu bisa selamat, kami merasa terpanggil untuk membangun kembali kolam konservasi agar pelestarian penyu bisa diteruskan,” ujarnya.

Itulah kenapa Komunitas Reispirasi dan FKPB kemudian giat menggalang dana untuk revitalisasi kolam konservasi di Pantai Samas. Hasilnya, sejak April 2014, kolam itu mulai dibangun kembali dengan bantuan dari sejumlah pihak, termasuk pasangan suami-istri asal Belanda, Hendrik J Vos dan Nelly Simon.

”Beberapa tahun lalu kami pernah datang melihat penyu di sini. Upaya konservasi itu sangat bagus karena akan membuat anak cucu kita dapat terus melihat penyu di masa depan. Jadi, sayang kalau tempat ini tak dibangun kembali,” kata Hendrik saat ditemui di Pantai Samas, pertengahan April lalu.

Dimulai kembali

Deny menjelaskan, revitalisasi kolam konservasi di Samas selesai awal Juni 2014. Kini, ada dua kolam konservasi dan sebuah ruang pertemuan untuk wisatawan atau tamu yang ingin melihat penyu. ”Sejak saat itu, kegiatan konservasi di Samas sudah bisa dimulai kembali,” ujarnya.

Awal Juni lalu, Rujito dan pegiat Reispirasi memindahkan sekitar 100 telur penyu lekang dari sarang di pinggir pantai ke sumur buatan di dekat kolam konservasi. Itu dilakukan agar telur penyu tak rusak terkena ombak atau dimakan binatang lain. ”Dari 100 telur yang kami selamatkan, ada sekitar 50 telur yang berhasil menetas,” katanya.

Sekitar 20 tukik hasil penetasan telah dilepasliarkan pada penggalangan dana yang digelar Reispirasi bersama Komunitas Earth Hour Jogja, 19 Juli. Kini, 30 tukik masih di kolam konservasi yang diawasi setiap hari.

Kolam konservasi yang baru dibangun berjarak sekitar 100 meter dari kolam lama. Kolam baru itu terletak di balik sejumlah pohon dan gundukan pasir sehingga aman dari ancaman abrasi. ”Kami akan terus menggalang dana untuk kelanjutan tempat konservasi itu serta berupaya mempromosikannya kembali menjadi obyek wisata edukasi,” ujar Deny.

Kepala Resor Bantul BKSDA Yogyakarta Hari Purnomo menilai, meski kesadaran warga ihwal pelestarian penyu sudah tumbuh, penyu yang singgah di Samas tetap terancam oleh perburuan segelintir orang. Telur penyu tak diawasi berpotensi hancur dimakan hewan lain. (Haris Firdaus)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com