Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Blusukan" Demi Kopi Prabe

Kompas.com - 18/04/2015, 19:06 WIB
Wahyu Adityo Prodjo

Penulis

Kami kembali masuk ke daerah pemukiman warga. Jalan hanya selebar enam meter dengan kondisi masih rusak. Beberapa pemuda tampak asyik bercengkerama di depan pelataran rumah. Mata mereka melirik melihat kehadiran kami.

Hanya senyum dan sapa yang dapat saya lemparkan untuk mengobati rasa penasaran mereka. Dusun Prabe, Desa Batu Mekar, Kecamatan Lingsar akhirnya kami jejaki. Di sebuah rumah dengan plang bertuliskan kepala dusun, kami membelokkan haluan motor.

Kopi Prabe, Hutan Lestari, dan Masyarakat Sejahtera

“Selamat datang. Silakan masuk,” kata seorang pria berbaju hitam dengan menggunakan kain sarung.

Kami dipersilahkan duduk di sebuah saung kecil di depan rumahnya. Segera kami utarakan maksud kedatangan pada malam hari ini untuk membeli kopi. “Mau yang manis atau pahit?” tanyanya.

"Dua-duanya, Pak. Dua kilogram yang pahit dan tiga renceng yang manis,” jawab saya.

Sambil menunggu kopi pesanan, pria yang bernama Tirtawan ini menceritakan sejarah menjual kopi Prabe. Ia menceritakan bahwa usaha kopi ini berangkat dari titik nol dan sebuah kemauan yang keras.

Tirtawan telah merintis usaha kopi dari tahun 1989 dengan mulai beli kopi beberapa bakul dari kebun milik orang untuk dijual ke pasar. Jumlah yang dapat dibeli pun terbatas hanya satu kuintal. Sempat dulu orang-orang menertawai usahanya karena disebut orang gila yang menjual kopi. Namun ia hanya tersenyum. Singkong dan pepaya pun pernah ia jual.

Tergabung dengan Kelompok Tani Mule Paice, Tirtawan sendiri menjabat sebagai ketua. Lelaki kelahiran asli Lombok 14 Maret 1963 ini mengaku, telah memulai usaha produksi kopi bubuk murni secara resmi sejak tahun 2005.

Bisnis kopi ini dirintis bersama 18 anggota masyarakat Dusun Prabe. Upaya bisnis kopi ini juga bukan memikirkan untung dan rugi saja. “Kami berusaha mengurangi penebangan liar. Membangun kesadaran masyarakat. Hutan tetap lestari dan masyarakat sejahtera,” ungkapnya.

Tirtawan pun mengungkapkan kopi olahannya dihasilkan dari pohon yang ditanam secara organik. Produknya telah mendapatkan sertifikat dari Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman (LeSos). Pada tanggal 13 Oktober 2012 lalu di Mojokerto, Kelompok Tani Mule Paice berhasil mendapatkan tanda legal untuk pertanian organik.

Setelah berbincang panjang dengan ditemani suguhan Kopi Lombok yang manis dan pisang, pesanan kami datang. Delapan buah bungkus plastik kopi dengan berat 250 gram telah hadir di hadapan saya. Pun juga tiga renceng kopi kemasan seberat 25 gram.

Untuk dapat membawa pulang kopi robusta sebanyak 2 kilogram, saya merogoh kocek sebesar Rp 200.000. Sementara untuk satu renceng kopi isi 10 sachet, dihargai sebesar Rp 6.500. Sehingga total biaya yang harus dikeluarkan untuk tiga renceng kopi sachet yaitu Rp 18.500.

Sebelum meninggalkan rumah sang penyedia Kopi Lombok, saya menyempatkan untuk melihat alat tempur Pak Tirtawan. Mesin-mesin untuk pengolahan kopi berjajar di sudut rumah. Namun saya tak dapat berlama-lama. Malam semakin menggelayut. Kami segera kembali ke Kota Mataram.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com