Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Teh Hijau dan Pabrik Belanda, Petualangan Seru!

Kompas.com - 01/05/2015, 11:45 WIB
Wahyu Adityo Prodjo

Penulis

KOMPAS.com – Pelan-pelan matahari menyapa para peserta Green Tea Adventure ketika ban-ban kasar mobil jip mulai melesat pergi meninggalkan penginapan. Senyum sapa para warga Ciwidey membuat kami untuk turut membalas dari balik jendela mobil. Di hari Rabu (29/4/2015) yang cerah ini, peserta akan belajar di Perkebunan Teh Dewata yang berada di kawasan Cagar Alam Gunung Tilu.

Tanaman-tanaman holtikutura khas dataran tinggi memenuhi sudut-sudut tanah perkampungan. Kebun-kebun dipenuhi daun bawang, seledri, dan kol yang tumbuh segar. Sementara para petani mulai berkelana dengan memikul cangkul menuju kebun. Lima kilometer di awal perjalanan, wajah-wajah warga perkampungan dan hasil bumi masih dapat terlihat di kiri dan kanan jalan. Teringat ucapan Head of Marketing PT ABC President Indonesia malam lalu. “Silakan nikmati perjalanan. Nanti kita akan banyak belajar,” katanya.

Sebenarnya, Perkebunan Teh Dewata berjarak kurang lebih 40 kilometer dari Jalan Ciwidey-Rancabali. Rombongan jip harus membelah jalan bebatuan di tengah perkebunan teh untuk dapat sampai. Hanya warna hijau yang mampu menyihir pupil mata kami saat ini. Tanda-tanda kehidupan mulai sirna dari pandangan berganti dengan jajaran pohon yang terpancang tegak. Juga pohon-pohon teh yang menyesaki hampir seluruh perbukitan.

Kawasan hutan hujan dataran tinggi dengan vegetasi flora saninten (Castanopsis javanica), rasamala (Altrigia excelca), kiputri (Podocarpus sp.), pasang (Quercus sp.), teureup (Artocarpus alasticus), puspa (Schiima walichii), kondang (Ficus lariegata), tunggeureuk (Castonopsis tunggurut) di kanan kiri menandai kami memasuki daerah cagar alam. Kami berbelok ke kiri dari jalan utama. Turun terjal dengan sedikit kubangan. Harapan untuk bertemu Owa (hybolates moloch) dan Surili (Presbytis comata) di tengah rimbunan pohon harus sedikit disingkirkan.

“Ayo.. Temen-temen media dan bloggers segera berkumpul.. Kita akan kembali jalan,” kata Tour Leader perjalanan, Derry. Ia tampak memburu para peserta karena memang perjalanan diperkirakan cukup memakan waktu. Rombongan melintasi topografi berbukit, bergunung dengan ketinggian tempat 1.150 - 2.434 meter di atas permukaan laut (mdpl). Inilah cagar alam seluas 8.000 Ha yang meliputi wilayah Kecamatan Ciwidey, Pasir Jambu, dan Pangalengan Kabupaten Bandung.

Kompas.com/Wahyu Adityo Prodjo Perkebunan Teh Dewata, Gunung Tilu, Ciwidey, Jawa Barat, Rabu (29/4/2015). Perkebunan Teh Dewata memiliki luas lahan 600 hektar dan dikelilingi oleh wilayah Cagar Alam Gunung Tilu.

Setelah hampir dua jam lebih merasakan perjalanan yang mengocok perut, kami tiba di wilayah perkebunan yang telah berdiri di sejak masa Hindia Belanda, 1932. Dahulu, Perkebunan Teh Dewata dibeli oleh almarhum Badruddin pada tahun 1956 dari sebuah perusahaan Belanda Tiedeman van Kerchem. Kemudian, sang anak, Rachmat Badruddin mengambil alih manajemen pada tahun 1990 ketika ayahnya meninggal.

“Teman-teman, segera menuju ke pinggir sungai ya. Kita sarapan sebelum melanjutkan kegiatan hari ini,” ucapnya menggunakan pengeras suara. Aliran air sungai nan jernih mengalir deras melewati jembatan. Saking derasnya, Direktur KBP Chakra, Teguh Kustiono mengatakan alirannya dimanfaatkan tenaga pembangkit listrik untuk kebutuhan listrik para pemetik teh dan pabrik. Papan-papan bertuliskan “Arboretum” yang berarti kebun bibit pohon-pohon kayu terlihat di dekat sungai. Kami sarapan di sebuah saung kecil ditemani gemericik air sungai.

Belajar Tentang Teh Hijau

Belanda memiliki sejarah panjang untuk segi perkebunan teh di Indonesia khususnya di Jawa Barat. Ketua Umum Dewan Teh Indonesia, Rachmat Badruddin mengatakan Belanda mengkonsentrasikan penanaman teh di Jawa Barat karena melihat ketinggian wilayah, tenaga kerja, dan topografi alam yang cocok untuk membudidayakan tanaman teh.

Rachmat menjelaskan dalam Presentasi “Edukasi Kebaikan Teh Hijau”,  Selasa (28/4/2015) di Bandung bahwa teh merupakan warisan budaya. Keberadaan sejak 5.000 tahun yang lalu, mengungkapkan bahwa teh merupakan sejarah kekayaan budaya. Juga, data menyebutkan bahwa konsumsi teh secara global melonjak 60 persen dari tahun 1993 ke 2010. Oleh karena itu, PT ABC President selaku pemegang merek Nu Green Tea mengajak KompasTravel dan awak media lain untuk belajar mengenai teh hijau.

Kompas.com/Wahyu Adityo Prodjo Para pemetik daun pucuk teh sedang bekerja di Perkebunan Teh Dewata, Gunung Tilu, Ciwidey, Jawa Barat, Rabu (29/4/2015). Para pemetik daun pucuk teh bekerja setiap hari sejak pukul 07.00 - 14.00 WIB dan menghasilkan 50 kilogram daun.

Selepas sarapan pagi, rombongan kembali beranjak. Moda transportasi berganti dari mobil jip menjadi truk. Dari duduk manis menjadi berdiri tegak. Gedung pabrik pengolahan teh kami lampaui. Menembus jauh ke jantung perkebunan teh bersama rekan-rekan awak media dan blogger. Gelak tawa menghibur lara di dalam pikap belakang truk. Sebelum tiba, foto-foto tak lupa direkam. Sebuah tongkat untuk selfie diarahkan ke atas. “Senyum.. Satu. Dua. Tiga,” kata seorang blogger.

Akhirnya, kami tiba di sebuah saung yang terletak di pinggir jalan perkebunan teh. Satu-persatu turun dan lalu langsung menyeruak pohon-pohon teh. Tampak di sisi kiri saung, sembilan pemetik teh sedang bekerja. Dengan topi caping dan menggendong keranjang, tangan-tangan para wanita tersebut dengan lincah memetik pucuk daun teh. Kemudian, mereka memasukkan ke dalam keranjang yang ada di punggung. Salah satu wanita pemetik teh tersebut bernama Fitri (45) menceritakan kesehariannya kepada KompasTravel.

“Setiap hari saya metik teh dari jam 7 pagi sampai jam 2 siang. Dalam sehari, saya bisa metik sampai 50 kilo, Jang. Sudah 20 tahun kerja metik teh. Kalau rumah, saya tinggal di daerah Apdelling atas,” tuturnya dengan bahasa Sunda yang kental.

Kompas.com/Wahyu Adityo Prodjo Para peserta Green Tea Adventure sedang mencoba memetik pucuk daun teh di Perkebunan Teh Dewata, Gunung Tilu, Ciwidey, Jawa Barat, Rabu (29/4/2015). Para peserta juga diajarkan bagaimana cara memetik daun teh yang benar oleh pihak perkebunan.

Tour Leader telah memanggil untuk kembali bergabung dengan kelompok, pelajaran selanjutnya adalah memetik daun teh. Pak Jaja, pegawai Perkebunan Teh Dewata mengajarkan kami cara memetik daun teh. Yang pertama adalah dengan memetik pucuk paling atas yang belum mekar dan diikuti oleh tiga helai daun muda di bawahnya lalu dipetik dari ruas tangkai daun. Yang kedua adalah dua pucuk daun muda yang berada paling atas yang tidak tumbuh pucuk daun yang belum mekar.“Yang pucuk dua biasa disebut burung muda. Daun teh dipetik setiap 16 hari sekali sejak tumbuh,“ ujarnya sambil mencontohkan cara memetik teh.

Mengenal Pabrik Teh

Setelah belajar tentang pemetikan daun teh, rombongan bergeser ke tempat pengolahan teh. Tulisan “Dewata Anno 1932” berwarna merah terpampang di dinding. Tulisan tersebut berarti Dewata (pabrik teh) telah berdiri sejak tahun 1932. Untuk dapat memasuki pabrik, rombongan harus benar-benar steril dari kuman-kuman. Sang tour leader kembali menginstruksikan untuk mencuci tangan dan memakai perlengkapan layaknya dokter yang ingin melakukan operasi bedah. Lengkap pula dengan penutup mulut. Memasuki pintu bertiraikan plastik, perjalanan dimulai.

Kompas.com/Wahyu Adityo Prodjo Deretan mobil jip terparkir di halaman Pabrik Teh Dewata, Gunung Tilu, Ciwidey, Jawa Barat, Rabu (29/4/2015). Alternatif transportasi untuk dapat mencapai kawasan perkebunan selain kendaraan pribadi adalah menyewa mobil jip.

Lantai dasar adalah ruang manajemen pabrik. Foto-foto rencana pengembangan terpampang. Juga satu kalimat untuk mengenang bencana longsor tahun 2010 lalu tertulis “Korban jiwa dan harta benda jangan sampai sia-sia, jadikanlah Dewata is the best”. Tujuan selanjutnya adalah lantai dua tempat pengeringan teh sementara sebelum masuk ke proses pelayuan. Pucuk-pucuk teh memenuhi meja-meja yang membentuk lorong. Para pekerja sibuk memindahkan ke mesin yang berjalan menuju proses selanjutnya.

“Kalau teh hijau, proses oksidasi malah dicegah. Berbeda dengan teh hitam. Pada Proses fixing, kadar air masih 65 persen. Setelah tahap pengeringan, kadar air maksimal 3 persen,” kata Asisten Manajer Produksi PT Chakra, Ade Hendrayana.

Tujuan terakhir adalah tempat penyortiran dan pengemasan. Di tempat ini, proses pengolahan daun teh berakhir. Proses ditandai dengan mesin penyaringan hasil daun pucuk kering sebelum dikemas menggunakan karung. Satu karung berisi 40 kilogram pucuk daun teh kering siap konsumsi. Dalam sehari, Ade mengatakan dapat menghasilkan 4,5 ton daun teh kering dari 17 ton daun teh basah.

Kompas.com/Wahyu Adityo Prodjo Para pegawai Pabrik Teh Dewata sedang memindahkan daun pucuk teh basah ke proses fixing, Gunung Tilu, Ciwidey, Jawa Barat, (29/4/2015). Proses fixing adalah tahap di mana pucuk teh dikurangi kadar air dan menonaktifkan Enzyme agar hijau daun tetap bertahan.

Dengan berakhirnya proses pengolahan, maka berakhir pula perjalanan kami. Hampir tiga jam kami menghabiskan waktu untuk belajar mengenai teh hijau. Perjalanan wisata edukasi yang dapat dilakukan secara berkelompok ini dapat dilakukan oleh wisatawan. Teguh  Kustiono mengatakan pihaknya dengan senang hati menerima wisatawan yang ingin mengunjungi pabrik. PT KBP Chakra pernah menerima murid-murid sekolah untuk belajar di kawasan perkebunan.

“Silakan hubungi kami, jika ingin mengunjungi. Kami utamakan kelompok. Nanti mudah-mudahan bisa kami fasilitasi. Kami juga ingin coba mengedukasi para peminum teh Indonesia agar dapat mengenal dan meminum teh lebih baik,” tutupnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Berlibur ke Bangkok, Pilih Musim Terbaik untuk Perjalanan Anda

Berlibur ke Bangkok, Pilih Musim Terbaik untuk Perjalanan Anda

Travel Tips
Cuaca Panas Ekstrem, Thailand Siapkan Wisata Pagi dan Malam

Cuaca Panas Ekstrem, Thailand Siapkan Wisata Pagi dan Malam

Travel Update
Pantai Kembar Terpadu di Kebumen, Tempat Wisata Edukasi Konservasi Penyu Tanpa Biaya Masuk

Pantai Kembar Terpadu di Kebumen, Tempat Wisata Edukasi Konservasi Penyu Tanpa Biaya Masuk

Travel Update
Siaga Suhu Panas, Petugas Patroli di Pantai Bangka Belitung

Siaga Suhu Panas, Petugas Patroli di Pantai Bangka Belitung

Travel Update
Cara ke Museum Batik Indonesia Naik Transjakarta dan LRT

Cara ke Museum Batik Indonesia Naik Transjakarta dan LRT

Travel Tips
Layanan Shower and Locker Dekat Malioboro, Personelnya Bakal Ditambah Saat 'Long Weekend'

Layanan Shower and Locker Dekat Malioboro, Personelnya Bakal Ditambah Saat "Long Weekend"

Travel Update
Museum Batik Indonesia: Lokasi, Jam Buka, dan Harga Tiket Masuk 2024

Museum Batik Indonesia: Lokasi, Jam Buka, dan Harga Tiket Masuk 2024

Hotel Story
3 Destinasi Wisata Unggulan Arab Saudi, Kunjungi Museum Bersejarah

3 Destinasi Wisata Unggulan Arab Saudi, Kunjungi Museum Bersejarah

Travel Tips
Mengenal Subak Jatiluwih yang Akan Dikunjungi Delegasi World Water Forum 

Mengenal Subak Jatiluwih yang Akan Dikunjungi Delegasi World Water Forum 

Jalan Jalan
Area Baduy Dalam Buka Lagi untuk Wisatawan Setalah Perayaan Kawalu 

Area Baduy Dalam Buka Lagi untuk Wisatawan Setalah Perayaan Kawalu 

Travel Update
5 Wisata di Bandung Barat, Ada Danau hingga Bukit

5 Wisata di Bandung Barat, Ada Danau hingga Bukit

Jalan Jalan
Aktivitas Bandara Sam Ratulangi Kembali Normal Usai Erupsi Gunung Ruang 

Aktivitas Bandara Sam Ratulangi Kembali Normal Usai Erupsi Gunung Ruang 

Travel Update
5 Cara Motret Sunset dengan Menggunakan HP

5 Cara Motret Sunset dengan Menggunakan HP

Travel Tips
Harga Tiket Masuk Balong Geulis Cibugel Sumedang

Harga Tiket Masuk Balong Geulis Cibugel Sumedang

Jalan Jalan
Tips Menuju ke Balong Geulis, Disuguhi Pemandangan Indah

Tips Menuju ke Balong Geulis, Disuguhi Pemandangan Indah

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com