”Polusi cahaya itu sudah dikeluhkan para astronom sejak tahun 1970-an,” kata Direktur Observatorium Bosscha Mahasena Putra.
Di Bosscha, kaum muda belajar memahami keagungan semesta. Sekali peristiwa, sekitar seratus pelajar, mahasiswa, menyimak penjelasan astronom Andika B Priombodo tentang tata surya, bintang. Ia juga menjelaskan keberadaan teropong bintang itu. ”Nama Bosscha diambil dari nama seorang Belanda yang patungnya dari tadi tersenyum dan melihat kita itu,” kata Andika sembari menunjuk patung Karel Albert Rudolf Bosscha.
Observatorium Bosscha merupakan salah satu tonggak kemajuan astronomi Indonesia. Observatorium ini berada di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, sekitar 18 kilometer dari pusat Kota Bandung. Lokasi ini dipilih karena berada pada dataran tinggi, sekitar 1.300 meter di atas permukaan air laut. Juga karena waktu itu masih sepi dari permukiman sehingga sangat cocok untuk observasi benda-benda langit.
Namun, makin hari jumlah penduduk makin banyak. Kota Bandung yang semula dirancang hanya untuk 600.000 jiwa kini dihuni oleh sedikitnya 2,5 juta jiwa. Ini turut berdampak pada perluasan lahan yang terus melebar termasuk Lembang. Lahan di sekitar Observatorium Bosscha semula adalah persawahan, tetapi kini dipadati permukiman.
Idealnya, pengamatan benda langit dilakukan dalam kondisi gelap atau setara dengan skor magnitudo 22 seperti saat Observatorium Bosscha berdiri. Sekarang ini nilai kegelapan itu turun menjadi 18. Artinya, langit di sekitar Observatorium Bosscha 40 kali lebih terang dibandingkan ketika Bosscha baru berdiri.
Untuk mengatasi itu, Mahasena dibantu anak buahnya berinisiatif memasang tudung lampu di rumah-rumah warga agar cahayanya tidak mengganggu peneropongan. Mereka membuat sendiri tudung itu di bengkel Observatorium Bosscha. Upaya ini berjalan sejak tiga bulan lalu dan kini sudah sekitar 600 tudung yang terpasang. ”Kami jalan sendiri setiap Jumat, mendatangi rumah warga untuk minta izin pemasangan tudung. Syukur banyak yang bersedia,” kata Mahasena.
Dana untuk pengadaan tudung itu berasal dari tarif kunjungan wisatawan Rp 20.000 per orang. Dalam setahun, Mahasena hanya membatasi sekitar 60.000 pengunjung. Observatorium Bosscha sebenarnya bukan obyek wisata karena tugas pokoknya adalah untuk penelitian dan pendidikan. Namun, karena berada pada lintasan obyek wisata, seperti Lembang dan Gunung Tangkubanparahu, tak sedikit wisatawan yang kemudian mampir ke tempat ini. Terlebih setelah muncul film Petualangan Sherina yang dalam salah satu adegannya mempertontonkan observatorium ini.
Mahasena dibantu beberapa mahasiswa ataupun alumnus astronomi ITB sebagai pemandu sekaligus penerima kunjungan. Mereka menjelaskan cara kerja teropong, tugas pokok, serta sejarah Observatorium Bosscha. Dan, tentu saja, mengajak meneropong bareng. Mereka meneropong sambil mengingat jasa Bosscha.
Administrator kebun teh
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.