Barangkali pula, kita tidak mengira bahwa promosi budaya ada yang dilakukan atas dasar konsep gotong royong (tanpa imbalan) dan juga atas dasar profesionalisme karena memang profesi dan mata pencahariannya di situ. Gotong-royong sebagai salah satu budaya Indonesia menjadi perekat sikap sosial masyarakatnya.
Walaupun berada di negeri Eropa, sikap gotong-royong dalam konteks promosi budaya Indonesia masih diperlukan dan patut diteladani. Di lain pihak, kita pun harus menghargai orang-orang yang memang berprofesi di situ, mereka menghabiskan waktu, mengeluarkan biaya transportasi dan tentunya membutuhkan biaya hidup sehari-hari.
Barangkali pula, kalau tidak ada sebuah komitmen kuat, kegiatan promosi budaya Indonesia yang dilakukan di luar negeri tidak akan pernah ada hasilnya. Komitmen inilah yang melangkahkan kaki saya sebagai seorang penabuh gamelan melakukan promosi budaya di Eropa.
Tidak sendirian, tapi bersama teman, keluarga, kerabat, warga setempat atas prakarsa sendiri maupun dukungan KBRI Brussel. Dalam data pertunjukan yang saya lakukan dari tanggal 2 Mei sampai 20 Juni 2015 terdapat 10 kali event budaya berlokasi di Belgia, Belanda hingga Swedia.
Perayaan Saraswati 2 Mei 2015 di Parc Pairi Daiza Belgia, dilakukan melalui konsep gotong royong oleh komunitas masyarakat Bali Belgia-Luxembourg (Banjar Shanti Dharma) yang membuahkan kegiatan budaya yang paling saya kagumi.
Kagum akan kemauan masyarakat Bali di Eropa berbondong-bondong datang ke Belgia berpartisipasi dalam perayaan Saraswati terbesar di luar Indonesia.
Mereka datang menyukseskan kegiatan itu dalam berbagai bentuk, misalnya menari, menabuh, membersihkan material persembahyangan, membawa buah-buahan, menghaturkan bunga hingga menyediakan makanan Bali secara sukarela.
Terus, bagaimana feedback acara tersebut dari pengunjung? Bukan pamer juga bukan "ember" tapi ini kenyataan dari feedback masyarakat setempat yang saya baca dari komentar fans facebook Pairi Daiza tentang perayaan Saraswati yang dipublikasikan tanggal 27 April 2015 lalu membuktikan bahwa antusias masyarakat Belgia sangat tinggi.
Dalam hitungan sehari status Facebook Pairi Daiza itu di-share 520 kali dan diberi jempol like oleh 2.125 orang. Komentarnya sangat positif mulai dari kata sanjung magnifique (luar biasa) hingga ungkapan sniff (mendengus kecewa) ketika tidak bisa hadir karena ada acara pada hari itu juga.
Setelah berakhirnya kegiatan perayaan Saraswati itu, seminggu kemudian langkah promosi budaya selanjutnya adalah tanggal 9 Mei 2015 di Kortemark dan tanggal 10 Mei 2015 di Gent, Belgia yang didukung kuat oleh istri dan ketiga anak saya tersayang.
Ada nilai positif yang saya dapatkan dengan keikutsertaan keluarga. Bersama mereka saya bisa menikmati suasana lain, mengesksplor obyek wisata sekaligus mengedukasi anak-anak betapa penting menanamkan budaya Indonesia yang dikenal karena toleransinya untuk diteladani. Inilah kesempatan emas buat saya, menghindari anak-anak kita agar tidak kecanduan Ipad, wii, xbox 360, PS, video game dan lain lain.
Pengalaman pahit yang saya dapatkan, ketika saya baru 3 bulan di Belgia. Saya ditawarkan mengajar gamelan ke Belanda. Saya tidak tahu berapa harus mendapat bayaran. Iseng saya bertanya kepada seorang teman yang "Sok Tahu" dengan menyatakan biaya mengajar itu harus mahal. "Jumlahnya sekian, jangan mau dibohongin. Ini di Eropa titik!" ujar dia dengan muka merah sambil berapi-api.
Dasar memang saya masih polos dan lugu, saya mengikuti sarannya dengan mematok harga. Ternyata hanya sekali itu saja saya diminta mengajar gamelan ke Belanda. Sayangnya tidak diundang lagi. Saya tahu dari pihak pengundang yang menyatakan saya terlalu mahal. Hmm... kasihan dech gue! sambil menyesali apa yang telah terjadi.
Sebenarnya hati saya sangat malu bercampur bingung saat itu. Tapi setelah saya dalami lebih jauh, saya menjadi mengerti keadaannya. Saya bertekad seperti kehidupan saya sebelumnya di Bali dengan pesan ayah saya kepada anaknya, "Seni yang terpatri dalam jiwamu itu harus disebarkan dengan jiwamu tulus". Tulus di sini maksudnya jangan terlalu uang saja yang kamu pikirkan. Sambil mendesah saya ingat pesan orangtua yang baik itu.
Tanpa pikir panjang sambil mengingat pesan sang ayah, saya melangkah lagi tanggal 16 Mei 2015 ke Cultureelhuis Heerlen, Belanda. Di tempat ini saya menampilkan suling Bali dan kendang bersama grup band De Gentlemen’s Groove yang mengalunkan alunan suling Bali Dwi Smara dan Shiwi lagu ciptaan sendiri.
Pertunjukan sukses dan mendapat applaus dari penonton. Kemudian tanggal 24 Mei 2015 di kota Mechelen Belgia saya berpacu dengan waktu menampilkan suling Bali bersama grup band Belgia Selene's Garden, yang sedang merelease album terbaru mereka dalam bentuk CD di mana saya memainkan suling dan kendang di album tersebut. (Klik video: selene's garden dengan suling).
Benar sekali, makna dari pesan singkat orang tua di Bali bahwa "kesempatan akan selalu ada karena ketulusanmu". Kesempatan datang lagi seminggu kemudian dengan mengikuti parade ogoh-ogoh Bali, suling Bali kreatif dalam Tong Tong Fair & Festival, Den Haag tanggal 27 Mei 2015 (video: suling bali di Tong Tong Fair 2015) selanjutnya Balinese Dagen Prananatha pada 13-14 Juni 2015 di Waasmunster (video: Balinese dagen di Waasmunster), Perayaan Tumpek Wariga di Parc Pairi Daiza tgl 20 Juni 2015 (video: tari Bali di Tumpek Wariga Pairi Daiza, dan suling bali dengan soprano saxophone) serta baru-baru ini memainkan rindik Bali selama 3 hari pada 16-18 Juni 2015 dalam rangka The Nordic World of Coffee di Guthenburg Swedia. (video: Rindik Bali di Swedia)
Apakah benar kita tidak membutuhkan imbalan? Belum tentu. Jujur saya katakan beberapa event yang berskala komersial tentu membutuhkan dan mengeluarkan biaya. Kalau berskala sosial misalnya untuk kemanusiaan dan berskala kecil tidak apalah, masih kita bisa bantu.
Maka dari itu, ada sebuah jalan yang harus saya lalui. Jalan itu berupa perjuangan keras dengan strategi tetap bertahan mempromosikan budaya Indonesia ke pelosok kota di Eropa. Dengan harapan di samping menentramkan jiwa dan hati yang tercekik dengan mahalnya asuransi kesehatan, perjuangan keras ini akan saya jadikan pelajaran hidup paling berharga supaya kita tidak mudah menyerah walaupun tantangan berat melilit sekujur tubuh kita.