Kami tidak akan menggantikan penampilan gong kebyar Buleleng ini dengan gamelan megantung. Kami berkomitmen pada gamelan mepacek. Oleh karena itu, kami meminta pemerintah Buleleng bisa konsisten jika ingin merevitalisasi gong kebyar yang sudah lama memudar ciri utamanya,” kata I Kadek Sefyan Artawan (28), pembina Sekaa Gong Wanita Lila Bhuana, yang juga pengajar seni di Buleleng.
Artawan menyayangkan pemerintah belum konsisten melestarikan gong kebyar Buleleng dengan gamelan mepacek. Ia sendiri tetap berusaha menjaga warisan leluhur. Ia menyerahkan kepada para penabuh ketika ingin tampil.
Gong kebyar merupakan karya seni dari hasil kreativitas masyarakat Bali utara di Buleleng. Bagaikan orkestra, gending-gending kekebyaran menggambarkan semangat dan kemeriahan. Siapa pun pendengar dan penikmatnya menjadi bersemangat ketika gamelan berbunyi.
Ini sesuai dengan arti kebyar dalam kamus bahasa Indonesia, yakni bergemerlapan, bersinar-sinar. Kostum penabuh dan penyanyinya juga menunjang. Pakaian yang cerah dan gemerlapan, menjadikan satu kesatuan gong kebyar yang meriah.
Meski belum ada bukti tahun berapa tepatnya gong kebyar ada, sejumlah seniman mengerucutkan tahun di antara 1913- 1915. Gamelan ini dipercaya muncul karena terpengaruh budaya Barat, seperti orkestra. Tahun ini merupakan seabad lahirnya gong kebyar. Terkait hal itu, Pemkab Buleleng menggelar seminar budaya Se-abad Kejayaan Gong Kebyar Bali Utara, dalam rangkaian agenda Buleleng Festival 2015.
Revitalisasi jadi kata kesimpulan untuk membangkitkan kejayaan gong kebyar itu. Meskipun kekiniannya sudah terdapat berbagai banyak versi dan gaya, para seniman dan akademisi serta pemerintah setempat percaya yang asli bisa kembali.
Pengaruh budaya asing ini masuk sejak jatuhnya Bali ke tangan Belanda yang ditandai perang Puputan Badung (1906) dan Puputan Klungkung (1908). Sejak itu, budaya Bali terintervensi budaya asing. Bali bagian utara, terutama Buleleng, merupakan daerah yang paling mudah membuka diri dari pengaruh budaya asing itu.
Ini tecermin dari hasil penelitian Prof Dr Pande Made Sukerta SSKar, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, yang menyebutkan Desa Bungkulan di Buleleng menjadi desa pertama yang memiliki peran munculnya gong kebyar.
Sukerta menjelaskan, gong kebyar adalah pengembangan dan perpaduan dari gong wayang, gong gede, dan pelegongan. Gending-gending gong kebyar lahir dari perpaduan antara melodi gending kuno dan baru.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.