Ratusan pengunjung juga menari mengelilingi tambak sembari menyanyi dan berpantun diiringi musik tradisional. Tarian yang dilakukan pengunjung disebut bedansai. Tarian itu memberikan suasana gembira.
Meskipun ritual itu identik dengan ritual kematian, ada unsur kegembiraannya karena arwah yang menuju sebayan tujoh seruge dalam itu diyakini akan mendapatkan kebahagiaan yang kekal. Ritual itu dilaksanakan sampai pagi.
Bahkan, pada hari kedua ritual yang sama kembali dilanjutkan. Namun, yang menari berbeda-beda. Kamis malam, adalah malam terakhir ritual tersebut. Bedansai (menari) tetap dilaksanakan.
Pada malam terakhir, ditutup dengan menebang jarau. Sesajian di atasnya dibagikan kepada undangan sebagai simbol memberi penghormatan kepada tamu. Selain itu, memindahkan tambak yang semua dikelilingi penari ke makam tepat pada pukul 00.00 WIB.
Tiga jenis
Ondeh (60), Ketua Adat Kampung Baru, menuturkan, Nganjan ada tiga jenis. Pertama, Nganjan Tambak. Jenis Nganjan itu hanya memperbarui makam dengan menambahkan tambak pada makam.
”Untuk yang kali ini juga dilaksanakan Nganjan Tambak, karena menghemat biaya di tengah lesunya ekonomi masyarakat saat ini. Nganjan Tambak hanya dilaksanakan dua hari dua malam,” kata Ondeh.
Jenis kedua disebut Nganjan Nyandong. Hal itu dilakukan dengan menggali tulang belulang di makam leluhur. Tulang belulang itu disimpan di dalam rumah kecil yang diberi tiang dengan ketinggian dua meter.
”Ritual itu mahal. Tidak semua warga bisa menggelar ritual jenis itu. Adatnya pun lebih rumit. Nganjan Nyandong itu tiga hari tiga malam,” ucap Ondeh.
Dalam Nganjan Nyandong, penari menggendong tengkorak kepala leluhur yang digali dari makam. Namun, dalam Nganjan Tambak karena tidak dengan menggali tulang, kepala disimbolkan dengan kelapa yang digendong penari menggunakan kain.