Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cirebon, Pelarian Baru bagi Warga Jakarta

Kompas.com - 08/01/2016, 10:16 WIB

Sunyaragi merupakan tempat menyepi keluarga keraton. Pada masa Perang Dunia II, Gua Sunyaragi dipakai untuk mengatur strategi melawan Belanda sehingga salah satu bangunan di situ pernah dibom Belanda.

Dibangun dalam beberapa tahap, Sunyaragi memiliki berbagai gaya arsitektur yang berbeda, yakni perpaduan gaya arsitektur Hindu, Tiongkok kuno, Timur Tengah, dan gaya Eropa.

Gaya arsitektur Islam tampak pada relung-relung pada dinding bangunan. Ada juga tempat mengambil air untuk sembahyang hingga bangsal Jinem yang dari belakang bentuknya tampak menyerupai Ka’bah.

Adapun gaya arsitektur Tiongkok tampak dari ornamen keramik pada bagian luar bangunan Mande Beling. Ong Tien Nio atau Ratu Rara Sumanding, istri Sunan Gunung Jati yang diboyong dari Tiongkok, konon ikut mendesain bangunan Gua Arga Jumut dengan motif mega mendung. Mega mendung sekarang ini menjadi motif batik khas cirebonan.

Wisata khusus

Selepas senja, Anda bisa melanjutkan kunjungan ke makam Sunan Gunung Jati yang berada di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Cirebon. Biasanya, pada hari-hari tertentu, kompleks pemakaman tersebut memang selalu dipadati peziarah hingga malam hari.

Makam sunan dibangun ini di atas lahan seluas 5 hektar. Bentuk kompleks pemakaman tersebut seperti punden berundak. Ada sembilan pintu utama yang berundak menuju ke makam sang sunan, di antaranya Lawang (pintu) Gapura, Lawang Krapyak, Lawang Pasujudan, Lawang Gedhe, Lawang Jinem, Lawang Rararoga, Lawang Kaca, Lawang Bacem dan Lawang Teratai di puncak tertinggi.

Pengunjung yang ingin berziarah ke Astana Gunung Jati hanya boleh sampai di Pintu Pasujudan. Dengan tertib pengunjung memasuki pelataran tempat berziarah untuk merapalkan doa-doa. Di depan pintu Pintu Pasujudan itu mereka duduk bersimpuh.

Pintu tersebut merupakan pintu gerbang keempat dari sepuluh pintu gerbang yang ada di kompleks Astana Gunung Jati. Adapun makam Sunan Gunung Jati beserta keluarganya berada di bagian paling atas kompleks pemakaman yang berada di dataran tinggi Gunung Sembung ini.

Mereka yang berdoa selalu membawa bekal uang receh. Uang koin itu mereka lemparkan ke gerbang Pasujudan setelah selesai berdoa.

”Tradisi ini merupakan simbol. Selesai berdoa peziarah lalu memberi sedekah,” kata Hasan (70-an), salah satu bekel sepuh di situ. Menjelang bulan puasa, peziarah semakin ramai berdatangan.

Menurut Hasan, tidak semua orang bisa mendekati makam sang sunan. Hanya sultan-sultan Cirebon atau orang yang diberi izin khusus oleh keraton Kasepuhan Cirebon saja yang bisa mendekat ke cungkup (rumah untuk makam) tempat jasad sunan dimakamkan.

Simbol keberagaman dan akulturasi diletakkan di Astana Gunung Jati. Tradisi ziarah makam, misalnya, sudah sangat mengakar pada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa.

Ziarah ke makam wali ini merupakan kepanjangan dari tradisi hinduisme bernama upacara srada. Tradisi semacam ini sudah ada sejak masa pemerintahan Hayam Wuruk, Raja Majapahit yang memerintah sekitar pertengahan abad ke-14.

Srada merupakan upacara untuk memuliakan leluhur yang sudah meninggal. Dari kata srada muncul istilah nyadran yang sangat dikenal masyarakat Jawa. Tradisi nyadran adalah kegiatan menziarahi makam leluhur.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com